Langkah Canggih Gubernur Pramono: Strategi Dana On-Call sebagai Solusi Pemotongan DTD Pusat Rp15 Triliun

Foto: IST/INT — Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo bersama Menteri Keuangan RI Purbaya Yudhi Sadewa | Sugiyanto (SGY)–Emik

Pada 5 Oktober 2025, saya menulis artikel di media sosial Facebook berjudul “Solusi Jitu Tanpa Ganggu Program Prioritas Rakyat Menghadapi Pemotongan DTD Pusat Rp15 Triliun terhadap RAPBD 2026 Jakarta.” Menariknya, beberapa langkah yang kemudian diambil oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tampak selaras dengan gagasan yang saya sampaikan dalam tulisan tersebut.

Oleh : Sugiyanto (SGY)

Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)

Sehari kemudian, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo segera menindaklanjuti isu pemotongan Dana Transfer ke Daerah (DTD) dengan menggelar rapat koordinasi di Balai Kota. Selanjutnya, pada Rabu pagi, 7 Oktober 2025, Pramono melakukan pertemuan dengan Menteri Keuangan RI Purbaya Yudhi Sadewa, membahas kumungkinan langkah strategis menghadapi kebijakan pemotongan dana sebesar Rp15 triliun tersebut.

Dalam pertemuan itu, Gubernur Pramono mengusulkan kemungkinan alternatif pembiayaan untuk menutup defisit melalui skema penempatan dana on-call pemerintah pusat di Bank Jakarta. Skema ini serupa dengan kebijakan penempatan dana pemerintah pada bank-bank BUMN (Himbara) yang nilainya mencapai sekitar Rp200 triliun. 

Usulan tersebut disambut positif oleh Menteri Keuangan Purbaya, dengan catatan bahwa dana harus dapat terserap secara optimal. Dana tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk memperkuat pembiayaan daerah, mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, serta meningkatkan daya saing sektor produktif seperti UMKM dan infrastruktur perkotaan.

Skema dana on-call ini dapat dikategorikan sebagai strategi mitigasi fiskal yang cerdas. Melalui mekanisme ini, proyek-proyek strategis yang dijalankan oleh pemerintah daerah, swasta, maupun BUMD berpotensi memperoleh dukungan pembiayaan melalui fasilitas pinjaman atau penyaluran kredit dari Bank Jakarta dengan memanfaatkan dana on-call tersebut.

Atas langkah Gubernur Pramono tersebut, saya menilai tindakannya benar-benar canggih dan luar biasa. Saya tidak menyangka isu pemotongan DTD sebesar Rp15 triliun dapat direspons dengan begitu cepat dan inovatif. Saya bahkan tidak membayangkan munculnya strategi seperti ini yang memadukan kecerdasan fiskal dan keberanian politik.

Langkah cepat dan strategis Gubernur Pramono ini dinilai sangat inovatif karena membuka peluang bagi Bank Jakarta untuk memperoleh penempatan dana on-call sebesar Rp10–20 triliun. Jumlah yang cukup besar ini berpotensi memberikan dampak signifikan dalam membantu masyarakat Jakarta melalui peningkatan akses permodalan dan kredit dari Bank Jakarta.

Apabila usulan tersebut terealisasi, kebijakan ini akan memperkuat likuiditas daerah, menjaga stabilitas fiskal, serta menjamin keberlanjutan program prioritas publik di bidang infrastruktur, pelayanan dasar, dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Strategi ini mencerminkan mitigasi fiskal yang responsif, sehingga program-program penting dan strategis, baik yang dijalankan oleh BUMD, pihak swasta, maupun masyarakat, tetap dapat berjalan melalui dukungan pembiayaan dan fasilitas kredit dari Bank Jakarta.

Meski demikian, pelaksanaan kebijakan tersebut harus tetap berlandaskan ketentuan perundang-undangan, prinsip tata kelola keuangan negara yang baik, serta menjunjung tinggi transparansi dan akuntabilitas. Pengawasan publik juga mutlak diperlukan untuk mencegah potensi moral hazard, penyimpangan administrasi, maupun ketergantungan fiskal terhadap pemerintah pusat.

Dalam konteks ini, saya berkomitmen untuk mendukung secara maksimal gagasan Gubernur Pramono tersebut. Sebagai bentuk dukungan konkret, saya berencana membentuk Tim Pemantau Kinerja Bank Jakarta guna memastikan implementasi kebijakan ini berjalan secara transparan, akuntabel, dan berpihak pada kepentingan masyarakat.

Dalam konteks tata kelola fiskal, Pemprov DKI sejatinya telah menyiapkan berbagai alternatif pembiayaan kreatif. Gubernur Pramono mengungkapkan bahwa APBD 2026 yang semula direncanakan sekitar Rp95 triliun harus disesuaikan menjadi sekitar Rp79 triliun. 

Untuk menutup kekurangan tersebut, DKI menyiapkan beberapa langkah seperti penerbitan obligasi daerah, pembentukan Jakarta Collaboration Fund (JCF), dan optimalisasi peran BUMD dalam mengelola potensi dana pemerintah pusat. Selain itu, kebijakan efisiensi dan rasionalisasi anggaran juga dilakukan tanpa mengganggu program-program strategis dan prioritas masyarakat.

Secara keseluruhan, langkah Gubernur Pramono menunjukkan kepemimpinan yang elegan, visioner, dan adaptif dalam menghadapi tekanan fiskal. Strategi ini menegaskan komitmen Pemprov DKI untuk menjaga keseimbangan antara kepatuhan hukum, efisiensi anggaran, dan keberlanjutan pelayanan publik. Jika dijalankan dengan pengawasan yang kuat dan integritas tinggi, kebijakan ini berpotensi menjadi model inovasi fiskal baru bagi Jakarta tanpa mengorbankan program prioritas rakyat.