Kecurangan Pilpres: Pengakuan Mantan Kapolsek Pasirwangi

Ilustrasi. (Dok: hersubenoarief)

MASIFNYA temuan fakta dukungan anggota Polri kepada paslon 01 menimbulkan kecurigaan, Polri tidak netral secara kelembagaan. Apalagi Polri sangat terkesan memihak dalam menangani berbagai kasus yang terkait para pendukung paslon.

Oleh : Hersubeno Arief
Pengamat politik dan media

Restoran Saung Nikmat di Jalan Muwardi Kota Cianjur, Kamis siang (28/3). Seorang polisi berpangkat brigadir kepala tampak tergesa-gesa mengambil barangnya yang tertinggal di meja sebelah. Salah satunya berupa topi berwarna merah putih dengan gambar Jokowi-Ma’ruf Amin, paslon 01.

Sehari kemudian sebuah screenshoot percakapan diduga milik group Polres Bima, Nusa Tenggara Barat beredar. Dalam percakapan itu AKBP Erwin Ardiansah memberikan instruksi seluruh Kapolsek harus memenangkan paslon 01. Minimal 60 persen di setiap wilayah masing-masing. Bila gagal mereka akan dievaluasi. Perintah itu disebut-sebut berasal dari Kapolda NTB.

Perilaku Kapolres Bima ini —tanpa menyebut nama institusi— sempat dipertanyakan Prabowo Subianto kepada Jokowi dalam debat antar-capres Sabtu (30/3). Kali ini Jokowi tidak menjawab seperti biasanya, “Silakan dilaporkan kalau ada buktinya.”

Beberapa hari sebelumnya Direktur Kantor Hukum dan HAM Lokataru Haris Azharmengaku mempunyai bukti polisi melakukan kerja politik untuk memenangkan paslon 01.

“Saya memiliki datanya bagaimana polisi di banyak tempat digerakkan untuk melakukan pendataan berapa banyak orang di wilayahnya yang (diperkirakan) memilih 01 atau 02,”

Data itu menurut Haris dimasukan dalam format Excel dengan template atau format yang sama. Data diinput pada Februari lalu. “Ada yang levelnya (diinput) Polsek, ada yang (diinput) Polres. Tapi saya tak bisa bilang ini dilakukan di seluruh Indonesia,” sambungnya.

Haris tidak asal tuduh. Sebagai bukti dia menghadirkan mantan Kapolsek Pasir Wangi, Garut, Jawa Barat AKP Sulman Azis. Kepada media Sulman mengaku diperintahkan untuk menggalang dukungan bagi paslon 01.

“Beberapa kali saya dipanggil Kapolres untuk melakukan data dukungan kepada masing-masing calon diperintahkan untuk melakukan penggalangan,” ucap Sulman di kantor Lokataru, Jakarta, Minggu (31/3).

Para Kapolsek ini diancam akan dimutasikan, dimasukkan kotak bila sampai paslon 01 kalah di wilayah masing-masing. Ancaman tersebut langsung dibuktikan sebelum paslon 01 kalah.

Sulman dimutasi ke Polda karena kedapatan berfoto bersama seorang pimpinan NU yang menggelar acara mendukung Prabowo. Menurut Sulman dia berfoto bersama pimpinan NU itu sebagai bukti laporan sudah turun ke lapangan melaksanakan perintah.

Dalam beberapa bulan terakhir sejumlah Kapolsek dan Babinkamtibmas Polri memang terlihat aktif turun ke lapangan. Mereka biasanya minta foto bersama dengan imam masjid, ketua RT/RW, maupun tokoh masyarakat yang ditemui.

Fakta dan cerita dari lapangan ini melengkapi beberapa info yang sebelumnya banyak berseliweran di media sosial. Seperti kepingan besar yang menjadikan potongan puzzle menjadi gambar besar yang utuh.

Foto-foto dan video polisi mengarahkan warga meneriakkan ye-yel dukungan kepada paslon 01 berserakan dimana-mana. Tapi tidak di media mainstream. Baru pada kasus pengakuan eks Kapolsek Pasir Wangi, liputannya lumayan banyak.

Seperti biasa polisi langsung membantah. Kapolres Bima AKBP Erwin Ardiansah menyebut kabar itu Hoax. Kapolres Garut AKBP Budi Satria Wiguna bersumpah tidak pernah memberi perintah semacam itu. Mabes Polri juga membantah ada operasi penggalangan. Namun mereka membenarkan ada pendataan, tujuannya untuk memetakan kerawanan jelang pilpres.

Masifnya temuan fakta dukungan anggota Polri kepada paslon 01 itu menimbulkan kecurigaan, Polri tidak netral secara kelembagaan. Apalagi Polri sangat terkesan memihak dalam menangani berbagai kasus yang terkait para pendukung paslon.

Sangat cepat dan tegas bertindak atas berbagai tuduhan ujaran kebencian dan pelanggaran UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE) terhadap para pendukung paslon 02. Sebaliknya berbagai laporan ujaran kebencian para pendukung paslon 01 banyak yang tidak diproses.

Mengatasi kecurigaan itu Kapolri Jenderal Tito Karnavian telah mengeluarkan telegram rahasia (TR) berupa Surat Edaran (SE) netralitas Polri. Dalam SE tersebut anggota Polri dilarang melakukan aktivitas apapun yang dapat menimbulkan kesan maupun dugaan Polri berpihak pada salah satu paslon.

Larangan itu sangat detil. Sampai hal yang sangat kecil seperti mengacungkan jari telunjuk, jari jempol ataupun jari membentuk simbol huruf V. Semua dilarang.

Apakah SE Kapolri itu serius atau hanya lips service?. Pertanyaan itu sangat penting dan serius. Apalagi dengan munculnya “bukti hidup” berupa pengakuan mantan Kapolsek Pasir Wangi.

Kalau serius mengapa tidak diindahkan oleh aparat kepolisian di level bawah? Apakah ada kekuatan lain yang lebih tinggi, lebih besar yang menggerakkan.

Siapa orang atau lembaga yang lebih besar dan lebih kuat dibandingkan Kapolri itu? Kekuatan yang bisa masuk dan memutus mata rantai komando Kapolri.

Para Kapolres sampai berani mengabaikan perintah pimpinan tertinggi Polri bukanlah perilaku yang lazim.

Polri adalah lembaga sipil dengan tradisi militer. Ada hirarki. Rentang komando sangat jelas. Melawan perintah atasan adalah tindak insub ordinasi.  Hukumannya sangat berat.

Soal ini harus dibikin terang benderang. Kapolri harus menjelaskan kepada publik apa sebenarnya yang sedang terjadi? Benarkah ada intervensi dari luar? Intervensi yang membuat Kapolri tak berdaya.

Jokowi baik sebagai presiden yang membawahi institusi Polri, maupun paslon yang diduga diuntungkan juga harus memberikan penjelasan.

Jika tidak ingin dituduh melakukan kecurangan, menyalahgunakan jabatan dan kekuasaan, memanfaatkan lembaga pemerintah untuk kepentingan melanggengkan jabatan, Jokowi harus berani secara tegas mengeluarkan instruksi. Larang seluruh anggota Polri terlibat dalam kegiatan/aktivitas yang bisa menciderai demokrasi.

Bisa dan maukah Jokowi melakukan hal itu? Bisa dan maukah Jokowi membuktikan bahwa benar dia adalah seorang presiden yang punya kewenangan dan berkuasa penuh? Bisa dan maukah dia memerintahkan Polri untuk netral? Atau ada kekuatan lain yang lebih tinggi dan lebih besar dibanding kedudukannya sebagai presiden?

Menang secara curang, bukanlah sikap terhormat seorang kesatria. Menang dengan melakukan segala cara, halal haram hantam, bukan sikap priyayi Jawa yang pantas diajeni. Ada baiknya dalam situasi seperti saat ini kita mengenang pitutur para leluhur. Seperti pernah diingatkan Prabu Joyo Boyo :

Polahe wong Jawa kaya gabah diinteri
Endi sing bener endi sing sejati
Para tapa padha ora wani
Padha wedi ngajarake piwulang adi
Salah-salah anemani pati

Pancen wolak-waliking jaman

Amenangi jaman edan
Ora edan ora kumanan
Sing waras padha nggagas
Wong tani padha ditaleni

Wong dora padha ura-ura beja-bejane sing lali,
Isih beja kang eling lan waspadha

terjemahan dalam Bahasa Indonesianya sebagai berikut :

Perilaku orang Jawa seperti gabah yang diayak dalam tampah
Mana yang benar mana yang sejati
Para pertapa, (cerdik cendekia) semua tidak berani
Semua takut mengajarkan ajaran kebaikan
Salah-salah menemui kematian

(Kita saat ini) mengalami perubahan zaman
Kita menyaksikan zaman gila
Tidak ikut gila tidak kebagian
Yang sehat akalnya sedih hatinya
Petani diikat
Penjahat berkeliaran

Se-beruntung-nya orang yang lupa
Masih beruntung orang yang ingat dan waspada

Sekarang terpulang kepada Jokowi, bagaimana dia ingin dicatat dalam sejarah? Bagaimana dia ingin dikenang oleh anak cucunya?

Seorang pemenang yang menghalalkan segala cara, sesungguhnya adalah seorang pecundang! end

(sumber: hersubenoarief.com)