Fenomena “Janda” dalam Narasi Pilkada Jakarta 2024: Blunder Politik atau Taktik Jitu Kampanye?
MENURUT analisis saya, fenomena istilah “janda” dalam narasi Pilkada Jakarta 2024 lebih mencerminkan blunder politik daripada taktik kampanye yang efektif
Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)
“Tulisan ini merupakan kali keempat saya membahas Pilkada Jakarta dengan posisi tetap netral, tanpa berpihak kepada calon mana pun. Dalam artikel ini, saya akan mengulas fenomena istilah “janda” dalam narasi Pilkada Jakarta 2024: Blunder politik atau taktik jitu kampanye? Tujuannya bukan untuk menyerang atau mendukung pihak tertentu, melainkan untuk menjadi pembelajaran penting bagi kita semua.”
Dalam kontestasi politik, strategi komunikasi memegang peranan kunci untuk menarik simpati publik. Namun, strategi yang tidak sensitif dapat menjadi bumerang, merugikan kandidat dan tim kampanyenya. Fenomena ini terlihat dalam narasi “janda” yang mencuat selama Pilkada Jakarta 2024, khususnya melibatkan calon gubernur Ridwan Kamil (RK) dan pasangannya, Suswono.
Kontroversi pertama bermula dari pernyataan Suswono, calon wakil gubernur nomor urut 1, yang dalam sebuah acara relawan membandingkan kisah Nabi Muhammad SAW menikahi Siti Khadijah dengan guyonan yang menyarankan, 'janda kaya menikahi pria pengangguran.' Candaan ini langsung menuai kritik tajam karena dianggap tidak hanya merendahkan perempuan, tetapi juga menyinggung nilai-nilai agama.
Meskipun Suswono segera meminta maaf dan mengakui bahwa pernyataannya tidak bijaksana, reaksi publik tetap keras. Beberapa pihak bahkan melaporkan Suswono ke polisi atas dugaan penistaan agama. Narasi ini tidak hanya merugikan Suswono secara pribadi, tetapi juga berisiko merusak citra tim kampanye secara keseluruhan, terutama karena menggunakan nama Nabi Muhammad SAW dalam konteks yang dianggap tidak pantas.
Belum tuntas kontroversi Suswono, Ridwan Kamil turut memancing polemik dengan pernyataannya mengenai “janda.” Dalam sebuah kampanye, RK bercanda bahwa “nanti janda-janda akan disantuni oleh Pak Habibur Rahman, diurus lahir batin oleh Bang Ali Lubis, diberi sembako oleh Bang Adnan, dan kalau cocok akan dinikahi oleh Bang Rian.” Candaan ini disambut tawa dari simpatisan yang hadir, tetapi menuai kritik keras dari berbagai pihak, termasuk pengamat politik Rocky Gerung.
Menurut Rocky Gerung, candaan ini mencerminkan kedunguan politik dan kurangnya sensitivitas gender. Ia menyebut narasi tersebut merendahkan perempuan dan tidak pantas diucapkan oleh calon pemimpin sebuah kota metropolitan seperti Jakarta. Rocky menegaskan bahwa tindakan misoginis seperti ini tidak hanya menghina perempuan, tetapi juga menghambat kemajuan demokrasi. Kritik keras Rocky Gerung terhadap RK ini disampaikan melalui kanal YouTube pribadinya, Jumat (22/11/2024).
Terkait pernyataan tentang janda tersebut, Calon Gubernur Jakarta nomor urut 1, Ridwan Kamil (RK), telah menyampaikan permohonan maaf. Dia mengakui bahwa manusia memang tempatnya khilaf dan salah. Permintaan maaf ini disampaikan oleh RK saat berada di Pondok Pesantren Daarul Rahman, Cipedak, Jakarta Selatan, pada Jumat (22/11/2024).
Dampak terhadap Citra Pasangan Ridwan Kamil-Suswono
Kontroversi bertubi-tubi ini memunculkan pertanyaan serius tentang kemampuan pasangan Ridwan Kamil-Suswono dalam memimpin Jakarta. Sebagai kota yang dikenal kosmopolitan, Jakarta membutuhkan pemimpin yang mampu mencerminkan nilai-nilai demokrasi, feminisme, dan kesetaraan gender.
Rocky Gerung bahkan mempertanyakan kemampuan pasangan ini untuk menghormati nilai-nilai kewarganegaraan. Ia menilai bahwa pernyataan mereka menunjukkan sikap subordinasi terhadap perempuan, mengabaikan penghargaan terhadap warga Jakarta sebagai individu yang setara.
Dalam konteks tersebut, menurut analisis saya, fenomena istilah “janda” dalam narasi Pilkada Jakarta 2024 lebih mencerminkan blunder politik daripada taktik kampanye yang efektif. Dalam kontestasi politik yang ketat, kesalahan komunikasi seperti ini dapat menjadi titik lemah yang dimanfaatkan lawan. Oleh karenanya dibutuhkan langkah cepat dan tepat untuk menetralkan opini negatif yang mungkin terus bergulir.
Sebagai saran konkret, saya mengusulkan kepada semua pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta agar tidak lagi menggunakan narasi yang dapat terkesan merendahkan pihak-pihak tertentu. Dengan tersisa waktu empat hari menjelang tanggal pencoblosan 27 November 2024, sebaiknya para calon fokus pada isu-isu substantif yang relevan dengan kebutuhan warga Jakarta.