Diskusi Publik Universitas Brawijaya: Hukum di Indonesia Sedang Tidak Baik
Jakarta,Dekannews-Buruknya situasi penegakan hukum di Indonesia, secara kualitatif terlebih pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK), berdasarkan data Indopol, sepertinya pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang dapat memperbaiki kondisi hukum di Indonesia adalah pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD.
Seperti yang disampaikan Ratno Sulistyanto, Direktur Eksekutif Indopol Survei pada acara Diskusi Publik, tentang Kondisi Hukum Pasca Keputusan MK No. 90 dan Diskusi Mengenai Ancaman Demokrasi dan Negara Hukum, Dinasti Politik, Nepotisme, Politisasi Hukum dan Kecurangan Pemilu yang digelar di Universitas Brawijaya Senin (27/11).
Menurutnya, dalam Paslon ini ada faktor Mahfud yang punya pengalaman panjang dalam dunia hukum dan terakhir sebagai Menkopolhukam ia membentuk tim reformasi hukum di kemenkopulhukam.
Selian itu, Ratno juga menilai paslon yang memiliki rekam jejak dan pengalaman yang kuat dalam hukum dibutuhkan karena kondisi hukum berada dalam kondisi yang memprihatinkan, terutama pasca putusan MK.
"Berdasarkan survei Indopol yang bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang pada 6 - 12 November 2023 terkait Pasca Putusan MK No.90 tentang persyaratan batas usia pencalonan presiden dan wakil presiden, kinerja pemerintahan Jokowi di akhir masa jabatannya mendapatkan rapor merah,"ujarnya.
Sementara itu Julius Ibrani, Ketua PBHI nasional mengatakan, untuk menyehatkan kembali hukum dan politik di Indonesia, dibutuhkan profil calon presiden-wakil presiden yang berpengalaman.
"Kita cek Ganjar-Mahfud memiliki pengalaman dalam reformasi hukum. Mahfud yang menjadi satunya satunya calon yang mampu mendobrak kebobrokan hukum. Dia yang membuka wacana reformasi hukum di Sosmed dan bisa ngomongin masalah kebobrokan hukum. Pilih sosok yang turun ke bumi dan yang berani ungkap kebobrokan. Mahfud memiliki rekam jejak dan pengalaman. Kita butuh orang yang berani ke depan,"tuturnya.
Sedangkan Pengamat politik Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti menilai dari perspektif politik, putusan MK No. 90 seharusnya bisa dikoreksi, karena masih ada waktu sampai ke hari H.
"Yang jadi persoalan tinggal apakah hakim MK memiliki keberanian atau tidak. Jika prosesnya tidak benar, maka bisa dibatalkan saat itu juga. Selain itu, ada satu hal yang harus dipegang teguh, yaitu (Ketua MK) sekali cacat harusnya memiliki rasa malu. Sedangkan dia kan tidak mau mundur, bahkan menyebutkan fitnah,"tegasnya.
Presiden Jokowi menurutnya, kelihatannya akan maju terus dan bagaimanapun caranya Prabowo-Gibran menang Pemilu.
"Dengan cara apapun harus menang. Sekarang ada penggalangan kepala desa, lurah. Kalau di era Orde Baru hal itu disebut dengan penggalangan “kebulatan tekad”. Misalnya dalam kasus pertemuan APDESI di Bandung, bisa dilihat pernyataan dari kepala desa kalua mereka tidak tahu dan tidak paham undang undang,"ujarnya.
Padahal lanjutnya, Kades yang melanggar ada sanksi pidananya. Pada masa Orde Baru, desa waktu itu bener bener harus disterilkan dari politik dengan cara Suharto membuat “politik massa mengambang”. Waktu itu yang boleh masuk dan ada di desa hanya hanya Golkar, sedangkan partai politik lain tidak boleh. Dalam konteks yang sekarang, hanya paslon No 2 aja yang bersuara (di desa).
Hal itu dapat dilihat dari acara APDESI di Jakarta dan Jawa Barat dimana hanya Paslon Nomor 2 yang Capresnya sebagai Menteri Pertahanan, sedangkan Paslon No. 1 dan No. 3 tidak diundang.
Ditempat yang sama Dekan FH Universitas Brawijaya Dr. Aan Eko Widiarto menilai temuan survei Indopol menunjukan bahwa kondisi sosial, ekonomi, politik dan hukum Indonesia akhir akhir ini sedang tidak baik-baik saja.
Hal itu terbukti dari 84.67 persen publik hasil survei Indopol yang menyatakan setuju dengan pendapat tersebut.
"Putusan MKMK menetapkan telah terjadi pelanggaran kode etik dan kode perilaku hakim dalam proses putusan MK No.90 dan semua hakim juga sudah dijatuhi vonis. Selama ini ada pandangan bahwa seakan-akan kalau sudah keluar putusan itu bersifat final dan mengikat, meski dalam proses yang diabaikan. Putusan yang final and bonding ada batasnya,"jelasnya.
Hal senada dikatakan Titi Anggraini Pembina Perludem, menurutnya Pemilu kali ini memperlihatkan sejumlah anomali. Anomali yang pertama adalah pendeknya masa kampanye.
"Kampanye besok adalah masa kampanye terpendek dalam Pemilu. Pemilunya serentak, ada ribuan calon/kanidat. Tapi anehnya masa kampanye dipangkas. Pendeknya masa kampanye sulit untuk menghadirkan pemilu yang bergagasan, menawarkan ide. Yang lebih anomali adalah para bakal calon sebelumnya sudah melakukan kampanye, tapi mereka tidak diproses hukum karena alasannya di luar masa kampanye. Anomali yang lain adalah pemerintah sangat tidak menginginkan revisi UU Pemilu, padahal pengalaman pemilu,"tuturnya.(tfk)