Diduga Gara-gara Dituduh Pro 02, Kapolsek Ini Dimutasi
Jakarta, Dekannews- Citra Polri makin terpuruk saja dari hari ke hari, karena diduga kuat telah diseret ke ranah politik dan menjadi bagian dari tim sukses (Timses) pasangan nomor urut 01 di Pilpres 2019, Jokowi-Ma'ruf Amin.
Setelah muncul dugaan kalau polisi membentuk tim buzzer di seluruh Polres dan Polsek di Tanah Air dengan menggunakan aplikasi Mysambhar, dan beredarnya chatting kepolisian yang berisi instruksi agar memenangkam 01, kini ada polisi yang blak-blakan mengakui kalau instruksi itu memang ada.
Polisi yang mengaku tersebut adalah AKP Sulman Aziz, mantan Kapolsek Pasirwangi, Garut, Jawa Barat, yang kini kemudian dimutasi menjadi Kanit Seksi Pelanggaran Gakkum Direktorat Lalu Lintas Jawa Barat..
Kepada pers setelah melapor ke lembaga bantuan hukum Lokataru, Minggu (31/3/2019), Sulman mengakui kalau ia pernah mendapat perintah dari atasannya agar memenangkan Paslon nomor urut 01. Perintah itu datang dari Kapolres Garut AKBP Budi Satria Wiguna yang disampaikan dalam rapat.
Dalam instruksi itu, ia dan seluruh Kapolsek di Kabupaten Garut diamcam akan dimutasi jika 01 kalah di wilayahnya masing-masing.
"Saya nggak tahu apakah perintah itu (disampaikan) secara estafet dari atas (Kapolda Jabar, red) atau tidak. Yang jelas saya diperintahkan oleh Beliau agar kita mendukung paslon 01, dan ada ancaman juga kalau seandainya paslon 01 kalah di wilayah masing-masing," katanya.
Sulman mengaku dirinya kemudian dimutasi karena pada 25 Februari 2019 berfoto dengan Ustad Zamzam, tokoh agama yang juga tokoh NU Kecamatan Pasirwangi yang kebetulan juga merupakan tokoh yang mengetuai deklarasi dukungan untuk Paslon 02. Padahal, kata dia, foto itu hanya dokumentasi untuk laporan tugasnya ke Kapolres Garut.
Dan yang lebih parah, ia juga kemudian dituduh telah memobilisasi sembilan kepala desa untuk memilih Prabowo-Sandi. Padahal, kata dia, kesembilan kepala desa itu datang kepadanya untuk meminta perlindungan karena habis dipanggil Polda Jawa Barat dan diperiksa terkait dana desa dan Bansos.
"Saya merasa telah dizolimi, telah disakiti, termasuk keluarga saya, istri saya, anak saya. Saya telah dimutasikan dari posisi saya ke Polda Jawa Barat," keluhnya.
Sulman mengaku bingung kepada siapa dia harus melaporkan mutasi yang dia alami, yang menurutnya tidak fair dan tak beralasan itu, karena katanya, dia tak percaya laporannya akan diproses Divisi Propam Mabes Polri.
Apalagi karena dalam telegram yang ia terima, tidak ada penjelasan mengapa dia dimutasi.
"Saya adalah bawahan, siapa yang ingin mendengarkan laporan saya?" keluhnya lagi.
Sulman mengaku mengetahui alasan mengapa dirinya dimutasi, dari anggotanya yang dipanggil Polres Garut dan diperiksa terkait fotonya dengan Ustad Zamzam.
"Mereka juga ditanya ketika aaya menerima kedatangan kesembilan kepala desa itu, apa saja yang saya sampaikan?" katanya.
Direktur Lokataru Haris Azhar mengatakan, instruksi Kapolres Garut itu, juga Kapokres di wilayah lain, merupakan dasar dari dilakukannya pemetaan penggalangan dukungan untuk paslon tertentu pada Pilpres 2019, yang datanya kini telah ia kantongi.
"Jadi, sejarahnya adalah pendataan itu hasil galangan. Artinya, sebelumnya diminta peran Kapolsek melakukan penggalangan. Setelah dilakukan penggalangan, dilihat hasilnya. maka keluarlah format-format (dalam bentuk tabel yang dibuat dengan Mucrosoft Excel) itu," jelas Haris.
Kapolres Garut membantah
Saat dikonfirnasi wartawan, Kapolres Garut AKBP Budi Satria Wiguna menyangkal kesaksian Sulman. Dia bersumpah tidak pernah memerintahkan Sulman untuk menggalang dukungan untuk Jokowi.
"Wah Demi Allah, sumpah saya nggak bisa berdiri kalau saya ngomong gitu," katanya seperti dilansir detikcom.
Di sisi lain, Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Muhammad Iqbal mengakui kalau Polri memang mengumpulkan data di lapangan, tapi sama sekali tidak terkait dengan politik praktis, melainkan untuk memetakan potensi kerawanan.
Ia bahkan berani memastikan bahwa Polisi netral dalam Pilpres, dan siapapun polisi yang bertindak tak netral akan ditindak.
"Strategi keamanan dan mempunyai data, data fix data apa pun, tidak ada kaitannya dengan motif politik. Kita wajib mengetahui dapil, juga daerah mana yang terkonsentrasi Paslon A dan Paslon B. Untuk apa? kita ingin melakukan proses pengamanan di situ. Ini adalah wajar yang sudah kita lakukan dari tahun ke tahun, begitu kan," kata Iqbal kepada wartawan di Jakarta.
Iqbal mengatakan strategi serupa pun dilakukan untuk pengamanan dalam pemilihan level kepala desa. Pengetahuan mengenai massa akan menentukan strategi pengamanan.
"Di dalam Pilkades itu, kita sudah memetakan siapa sebenarnya yang mendominasi. Agar apa? Agar kami bisa menentukan strategi pengamanan yang tepat. Jadi sama sekali tidak ada motif politik," katanya.
Ia pun mengingatkan tentang adanya telegram Kapolri yang memerintahkan agar aparat kepolisian netral.
"Kan sudah banyak yang sudah dibuktikan. Ada seorang Wakapolda dan juga oknum-oknum. Bahkan ada yang dicopot. Prinsipnya itu; siapa pun yang melakukan, pelanggaran terhadap netralitas akan kami proses dan ada mekanismenya," tegas dia. (man)