Dampak Rangkap Jabatan: Ketidakhadiran Heru Budi pada Upacara HUT 17 Agustus 1945 di Monas

Foto-INT/IST(Lomba di Masyarakat dalam Hut RI 17 Agustus 1945-Pejabat Gubernur Heru Budi)-INT/IST

PADA saat semua kepala daerah atau pejabat gubernur di seluruh Indonesia bertindak sebagai Inspektur Upacara di wilayah masing-masing, Jakarta justru kehilangan kehadiran pemimpin utamanya

Oleh : Sugiyanto (SGY)
Aktivis Senior Jakarta

Rangkap jabatan yang diemban oleh Heru Budi Hartono sebagai Kepala Sekretariat Presiden (Kasetpres) dan Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta terbukti menjadi beban nyata, baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat Jakarta. Kejadian pada peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1945 tahun ini adalah contoh paling jelas dari dilema ini.

Pada saat semua kepala daerah atau pejabat gubernur di seluruh Indonesia bertindak sebagai Inspektur Upacara di wilayah masing-masing, Jakarta justru kehilangan kehadiran pemimpin utamanya. Heru Budi Hartono, yang semestinya menjalankan tugas tersebut, berada di Ibu Kota Negara Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur, melaksanakan tugasnya sebagai Kepala Sekretariat Presiden.

Dampaknya, masyarakat Jakarta kehilangan sosok pemimpin mereka pada momen penting tersebut. Tugas sakral sebagai Inspektur Upacara HUT Ke-79 RI di Monas akhirnya harus diambil alih oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Jakarta, Joko Agus Setyono.

Ketidakhadiran Heru Budi dalam kapasitasnya sebagai Pj Gubernur DKI Jakarta pada acara yang sangat simbolis dan bermakna bagi seluruh rakyat Indonesia ini jelas merugikan masyarakat Jakarta. Kehadiran seorang pemimpin di saat-saat penting seperti upacara peringatan kemerdekaan memiliki nilai yang sangat signifikan, baik sebagai wujud penghormatan terhadap sejarah bangsa maupun sebagai simbol pemersatu masyarakat.

Rangkap jabatan ini mengakibatkan Heru Budi harus memprioritaskan tugas-tugas kenegaraan di IKN, yang tentunya penting, namun mengorbankan tugasnya sebagai Pj Gubernur Jakarta. Jakarta, sebagai ibu kota yang masih aktif dan pusat pemerintahan serta perekonomian negara, memerlukan seorang pemimpin yang hadir penuh waktu untuk mengatasi berbagai tantangan dan kebutuhan kota.

Secara logis, beban ganda yang dihadapi oleh Heru Budi dapat mengakibatkan terjadinya kekosongan kepemimpinan pada momen-momen krusial di Jakarta. Hal ini berimplikasi pada kurang optimalnya pelayanan publik dan pengambilan keputusan strategis di tingkat daerah.

Kejadian tersebut juga membuka ruang bagi perdebatan tentang efektivitas rangkap jabatan penting dalam pemerintahan. Kondisi ini pada akhirnya dapat menimbulkan risiko terhadap kredibilitas dan kapabilitas kepemimpinan di mata publik.

Dengan demikian, rangkap jabatan Heru Budi Hartono telah menunjukkan kelemahannya, terutama ketika tugas-tugas yang berbeda saling berbenturan. Masyarakat Jakarta layak mendapatkan perhatian penuh dari pemimpin mereka, terutama dalam peristiwa-peristiwa penting yang memerlukan kehadiran simbolis dan praktis seorang pejabat gubernur.

Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali model kepemimpinan seperti ini demi memastikan bahwa semua daerah mendapatkan pelayanan dan perhatian yang optimal dari pemimpin mereka. Momentum peringatan HUT 17 Agustus 1945 seharusnya menjadi saat bagi kepala daerah untuk merayakannya bersama masyarakatnya. Namun, sayangnya, hal ini tidak terjadi di Ibukota Negara Republik Indonesia, Kota Jakarta. Ironis, bukan?

​​​