Catatan dari Menteng: Menelisik Jakarta Bersama Sang Mantan Gubernur, Fauzi Bowo (Bang Foke

Foto: IST – Silaturahmi sembilan aktivis Jakarta dan diskusi serta makan siang bersama Gubernur DKI Jakarta periode 2007–2012, Fauzi Bowo (Bang Foke)

Minggu, 13 Juli 2025, langit Jakarta cerah. Setelah olahraga pagi, istirahat, dan bersantai sejenak, saya bersiap bertemu teman-teman. Kami telah sepakat untuk bertemu pukul 12.30 WIB di Masjid Cut Meutia, Menteng, Jakarta Pusat. Setibanya di sana, teman-teman sudah berkumpul.

Oleh : Sugiyanto (SGY)

Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)

Tampak Bang Amir Hamzah dan Bung Rico Sinaga sedang berbincang santai. Teman-teman lain yang hadir antara lain Tom Pasaribu, Budi Siswanto, Gea Hermansyah, Aji Rimbawan, Marlo Sitompul, dan Bung Victor Irianto Napitupulu.

Satu teman, Agung Nugroho, tidak dapat hadir. Sementara itu, rencana kehadiran Bang MA — mantan birokrat sekaligus tokoh Betawi senior DKI Jakarta — batal karena beliau memiliki keperluan lain yang mendesak.

Setelah semua hadir, kami bersama-sama menuju kediaman mantan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.

Setibanya di rumah Gubernur DKI Jakarta periode 2007–2012, Fauzi Bowo atau yang akrab disapa Bang Foke, kami disambut dengan hidangan khas Arab: nasi kebuli kambing, tersaji di atas dua meja bundar. Tak lama kemudian, Bang Foke datang menyambut kami dengan hangat.

Penampilan Bang Foke terlihat keren dan segar, layaknya anak muda. Ia mengenakan kaos hitam yang dipadukan dengan kemeja santai berwarna abu-abu, menciptakan kesan sederhana namun tetap elegan. 

Kacamata hitam bulat melekat di wajahnya, sementara sebuah cincin dengan batu pirus besar dan antik melingkar mencolok di jari manis tangan kirinya. Semuanya tampak serasi. Sungguh, ia tampil sebagai sosok yang cerdas, berwibawa, dan penuh energi.

Sambil menikmati makan siang, kami mulai membahas berbagai topik. Bang Foke membuka diskusi dengan membicarakan isu-isu internasional, mulai dari dinamika di Amerika hingga sosok pemimpin Jerman yang kontroversial, Adolf Hitler. Setelah makan, pembicaraan mengarah ke persoalan Jakarta.

Diskusi dimulai oleh Budi Siswanto, kemudian dilanjutkan oleh Marlo Sitompul dan Bang Amir Hamzah. Saat giliran saya berbicara, Bang Foke tiba-tiba menyela:

“Ntar dulu ya, ini harus dicatat nih. Ini pembahasan isinya daging, daging semua,” ujar beliau.

Setelah menyiapkan kertas dan bolpoin, diskusi kembali berlanjut. Saya menyampaikan pandangan tentang perkembangan Jakarta sejak era Bang Foke hingga kini di bawah Gubernur Pramono Anung. Kemudian teman-teman lain — Rico, Tom, Gea, Victor, dan Aji — juga menyampaikan pandangan masing-masing terkait Jakarta dan kepemimpinannya.

Setelah mendengar semua pendapat, mantan Duta Besar Indonesia untuk Jerman ini berkata:

“Tolong kasih saya info atau update terkini soal isu Jakarta, serta kondisi dan konstelasi berbagai hal tentang kota ini."

Kami pun memberikan gambaran terbaru tentang Jakarta, termasuk tantangan, kebijakan, dan dinamika sosial politiknya.

Kemudian, mantan Gubernur Jakarta ini mulai berbicara panjang lebar. Bang Foke membahas Jakarta secara menyeluruh, dari era Gubernur Ali Sadikin hingga masa Gubernur Sutiyoso. Ada beberapa pernyataan yang sangat mengesankan dalam diskusi tersebut, di antaranya:

“Jakarta ini kampung kita. Kita cinta Jakarta, meski negeri lain mungkin lebih enak. Kita tidak ingin Jakarta mundur, tapi harus terus maju.”

“Gubernur Ali Sadikin-lah yang meminta saya, sebagai orang Betawi, untuk membangun kampung sendiri, yaitu Jakarta.”

“Pemerintah — baik pusat maupun daerah — tidak mungkin bisa mengatasi semua masalah sendiri. Butuh keterlibatan masyarakat. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat adalah hal yang sangat penting.”

Masih banyak hal penting lainnya yang dibahas, namun akan terlalu panjang jika dituliskan semuanya di sini. 

Sepertinya saya perlu membaginya menjadi beberapa bagian dengan topik-topik khusus sesuai dengan tema pembahasan. Insya Allah, pada kesempatan berikutnya saya akan uraikan secara lebih mendalam seluruh penjelasan Bang Foke serta hasil diskusi bersama sembilan aktivis Jakarta.

Sejatinya, pertemuan ini terlaksana atas permintaan saya kepada Bang Foke. Dalam sebuah kesempatan pertemuan sebelumnya, saya sempat menyampaikan harapan kepada beliau agar tidak terlalu sering bepergian ke luar negeri, karena Jakarta sangat membutuhkan pengalaman dan pemikiran beliau. 

Selain itu, saya juga memohon agar Bang Foke bisa meluangkan waktu untuk bertemu dan berdiskusi mengenai Jakarta. Saat itu, Bang Foke menyambut baik permintaan tersebut dan menyatakan kesediaannya, sambil berkata akan mencari waktu yang tepat. Nah, pertemuan kali ini adalah jawaban dari janji beliau.

Tanpa terasa, waktu telah berlalu selama empat jam.  Penjelasan Bang Foke dalam pertemua itu begitu luar biasa — mendalam, kaya wawasan, dan penuh makna. Karena begitu padat dan luasnya materi diskusi, saya belum bisa menguraikannya secara rinci dalam satu tulisan ini.

Sebelum menutup diskusi, dengan rendah hati Bang Foke mengucapkan terima kasih atas pertemuan dan diskusi bersama sembilan aktivis Jakarta. Menurut beliau, banyak sekali hal penting yang perlu menjadi perhatian serius semua pihak terkait masa depan ibu kota.

Namun sesungguhnya, kamilah — sembilan aktivis Jakarta — yang justru harus lebih dulu mengucapkan terima kasih kepada Bang Foke. Sebab, diskusi ini terasa seperti mengikuti kuliah setara 144 Satuan Kredit Semester (SKS), namun hanya dalam waktu empat jam! Berdiskusi dengan mantan Gubernur Jakarta yang merintis karier dari bawah memang tak pernah membosankan dan sungguh mengagumkan. Bahkan, saya menyebut Bang Foke bak “Kamus Berjalan Kota Jakarta.”

Apa pun persoalannya—mulai dari birokrasi, politik, sosial, hingga teknis pemerintahan—semuanya dikuasai oleh beliau. Tak hanya itu, Bang Foke juga sangat mengenal, bahkan hafal, hampir seluruh nama pejabat di lingkungan Pemprov DKI Jakarta. Bahkan hingga saat ini, Bang Foke masih mengingat nama-nama pejabat yang dulu pernah menjabat sebagai lurah dan camat di Pemprov DKI Jakarta.

Begitulah sosok Bang Foke — mantan Sekretaris Daerah (Sekda) dan Wakil Gubernur DKI Jakarta — yang meski bukan lulusan sekolah pamong, justru memiliki jiwa pamong sejati, mungkin lebih dari mereka yang berkarier sebagai pamong. 

Hanya mereka yang tidak menginginkan Jakarta maju sajalah yang mungkin tidak menyukai beliau. Sangat disayangkan jika ada pejabat atau warga Jakarta yang meremehkan pandangan, pengalaman, dan pemahaman beliau yang begitu mendalam tentang kota ini.

Dialah satu-satunya putra Betawi, ahli tata kota lulusan Jerman, yang meniti karier dari bawah hingga menjadi Gubernur DKI Jakarta. Sosok yang kaya akan ilmu, luas wawasannya, dan sarat pengalaman—baik di bidang birokrasi maupun pemerintahan. Di era Bang Foke pula, tercatat satu-satunya Gubernur yang rutin berkantor di hampir seluruh kelurahan di wilayah DKI Jakarta.

Beliaulah Fauzi Bowo, pemimpin yang mencintai kampung Betawinya, kota Jakarta. Gubernur yang ikhlas memimpin dan membangun Jakarta agar maju, tanpa ambisi menjadi Presiden RI—hanya ingin melihat Jakarta tumbuh menjadi kota yang lebih baik. Dialah Sang Gubernur Legenda: Fauzi Bowo, atau yang lebih akrab dikenal sebagai Bang Foke, Gubernur DKI Jakarta periode 2007–2012.