24 Juta Kendaraan Bermotor di DKI, Potensi Pajak Parkir Capai Rp4,3 Triliun: Perlu Pergantian Pejabat Kunci di Dishub dan Bapenda serta Lainnya

Foto-Int/Ist-Sugiyanto(SGY)-Emik

PEMBENTUKAN Panitia Khusus (Pansus) Perparkiran oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi DKI Jakarta membawa harapan besar bagi publik terhadap reformasi tata kelola sektor parkir.

Oleh : Sugiyanto (SGY)

Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)

Langkah ini sangat relevan mengingat sektor parkir selama bertahun-tahun menjadi sumber persoalan sistemik yang diduga menyumbang kebocoran pendapatan daerah dan memperburuk tata kelola perkotaan.

Sistem parkir di Jakarta terbagi menjadi dua jenis: on-street (parkir di badan jalan) dan off-street (parkir di gedung atau area khusus). Keduanya dikelola oleh berbagai entitas, termasuk Dinas Perhubungan (Dishub), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), serta pihak ketiga dari swasta. Namun, fragmentasi pengelolaan ini justru menimbulkan tumpang tindih kewenangan. Selain itu, lemahnya pengawasan dan ketidakefisienan diyakini turut berdampak pada minimnya penerimaan pajak parkir. 

Potensi pendapatan dari sektor parkir sangat besar. Menurut Ketua Pansus Perparkiran DPRD DKI Jakarta, Jupiter, potensi penerimaan dari sektor ini diperkirakan mencapai Rp1,4 triliun per tahun. Namun, realisasi yang tercatat hanya sekitar Rp57 miliar. Ketimpangan tersebut boleh jadi mencerminkan kegagalan struktural dalam pengelolaan, pengawasan, dan penegakan regulasi di sektor perparkiran.

Kondisi ini menjadi semakin tidak masuk akal jika dibandingkan dengan jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta yang diperkirakan mencapai 24 juta unit, terdiri dari sekitar 4,35 juta mobil penumpang, 17,3 juta sepeda motor, serta ribuan bus, truk, dan kendaraan khusus lainnya. Angka tersebut belum mencakup kendaraan dari daerah penyangga yang setiap hari masuk dan turut memanfaatkan fasilitas parkir di Jakarta.

Data dari Polda Metro Jaya menyebutkan sekitar 23 juta unit kendaraan, sementara BPS mencatat 21,8 juta kendaraan pada 2022, dengan tingkat pertumbuhan sekitar 3% per tahun. Belum termasuk kendaraan dari daerah penyangga yang setiap hari masuk ke Jakarta.

Bayangkan, jika hanya separuh dari total kendaraan di Jakarta, sekitar 12 juta unit, melakukan parkir setiap hari, potensi penerimaan pajaknya bisa mencapai angka yang sangat fantastis. Misalnya, dengan asumsi tarif parkir sebesar Rp5.000 per kendaraan per hari, maka pendapatan kotor harian mencapai Rp60 miliar. Jika dikenakan pajak parkir sebesar 10 persen dari Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), maka potensi pajaknya adalah Rp500 per kendaraan per hari, dikali 12 juta unit atau total Rp6 miliar per hari.

Jika dikalikan 30 hari dalam sebulan, potensi pajak parkir mencapai sekitar Rp180 miliar per bulan. Dalam satu tahun, angka ini setara dengan Rp2,16 triliun. Bahkan, jumlah tersebut berpotensi jauh lebih besar, tergantung pada volume kendaraan yang parkir di Jakarta setiap harinya, termasuk dari wilayah penyangga dan lamanya waktu kendaraan parkir. Dengan perhitungan yang mungkin lebih realistis, potensi penerimaan pajak parkir bisa saja mencapai dua kali lipat, yakni sekitar Rp4,31 triliun per tahun.

Dalam konteks mencari solusi untuk mengurai kemacetan Jakarta, penerimaan pajak dari sektor perparkiran berpotensi meningkat. Hal ini dapat dicapai melalui kebijakan kenaikan tarif parkir kendaraan di wilayah DKI Jakarta. 

Perhitungan perkiraan saya sebelumnya mengenai potensi pendapatan dari sektor perparkiran mungkin tidak sepenuhnya tepat. Namun demikian, sektor pajak perparkiran di DKI Jakarta tetap memiliki potensi besar untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) DKI Jakarta.

Kalkulasi sederhana ini menunjukkan bahwa pajak parkir seharusnya juga bisa menjadi salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang cukup besar bagi DKI Jakarta. Namun, realitas di lapangan diduga kuat memperlihatkan betapa lemahnya sistem tata kelola dan pengawasan yang ada. Atas hal ini, sehingga potensi besar tersebut justru hilang begitu saja tanpa kontribusi signifikan terhadap kas daerah.

Persoalan parkir on-street semakin diperparah oleh maraknya dugaan praktik parkir liar yang dilakukan juru parkir ilegal. Bahkan mungkin juga terjadi di ruas jalan yang secara tegas dilarang untuk parkir melalui Peraturan Gubernur. Sementara itu, pengelolaan parkir off-street mungkin saja juga kerap luput dari pengawasan, terutama di kawasan swasta, dan kemungkinan tidak seluruhnya dilaporkan sebagai objek pajak atau PBJT. 

Dalam konteks ini, evaluasi menyeluruh terhadap pejabat kunci boleh jadi mutlak diperlukan. Saya tidak perlu menyebutkan nama-nama pejabat di Dishub, Bapenda, atau instansi terkait lainnya yang mungkin saja dinilai gagal menunjukkan perbaikan signifikan. Biarlah DPRD dan pimpinan Pemprov DKI Jakarta yang menilai kinerja mereka. Yang pastinya, Alih-alih membaik, dugaan adanya praktik parkir liar justru semakin marak, sementara pendapatan dari sektor parkir diduga kuat tetap stagnan, bahkan boleh jadi cendrung menurun. 

Dalam konteks ini, Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta, sebagai otoritas pengelola penerimaan pajak, juga perlu turut memikul tanggung jawab. Adanya dugaan pengawasan yang lemah terhadap kewajiban pajak di sektor perparkiran boleh jadi merupakan faktor utama. Dengan kata lain, boleh jadi tidak tercapainya target pendapatan atau adanya potensi kebocoran dapat menjadi indikasi bahwa mungkin mekanisme audit dan pengawasan belum berjalan secara efektif.

Dalam hukum administrasi publik, prinsip performance-based accountability mengharuskan pejabat publik mempertanggungjawabkan capaian kinerjanya secara berkala. Bila tidak memenuhi standar kinerja publik, maka mekanisme pergantian adalah solusi sah dan logis demi perbaikan tata kelola. Hal ini sejalan dengan semangat reformasi birokrasi dan prinsip good governance sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yakni, penigkatan kinerja dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan. 

Terkait rencana Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung untuk membentuk BUMD khusus pengelolaan parkir merupakan langkah strategis yang patut didukung. Namun, keberhasilan BUMD ini sangat bergantung pada penerapan prinsip tata kelola yang profesional, akuntabel, dan berbasis teknologi. Sistem pembayaran nontunai, pengawasan berbasis sensor dan IoT, serta pemanfaatan data real-time harus menjadi standar utama dalam operasionalnya

Sektor parkir kemungkinan telah lama menjadi lahan subur bagi praktik ilegal, kolusi, dan korupsi. Kini saatnya DPRD DKI Jakarta melalui Pansus Perpakiran mengambil sikap tegas. Salah satu langkah konkret adalah mengusulkan kepada Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung untuk mengganti pejabat kunci di Dinas Perhubungan, BP Parkir, Bapenda, serta instansi terkait lainnya. 

Sejatinya, tanpa menunggu usulan dari DPRD, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung tetap dapat berinisiatif melakukan perombakan. Kebijakan mengganti pejabat-pejabat kunci yang dinilai gagal meningkatkan pendapatan pajak perparkiran adalah hal prioritas. Langkah ini dapat menjadi upaya penyegaran, menghadirkan semangat baru, serta mendorong perbaikan kinerja, terutama bagi pejabat yang telah terlalu lama menduduki posisinya.

Pergantian ini diperlukan untuk memutus mata rantai status quo dan membuka ruang bagi lahirnya kepemimpinan baru. Selain itu, langkah ini juga dapat menjadi bentuk promosi bagi pejabat terkait dengan menempatkan mereka di posisi lain, guna memperkaya pengalaman dalam birokrasi Pemprov DKI Jakarta. Diharapkan, para pemimpin baru mampu mengelola sektor parkir secara profesional, transparan, dan berorientasi pada peningkatan kesejahteraan warga kota melalui optimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD).