PKPU Nomor 10 Tahun 2023 Dinilai Merugikan Keterwakilan Perempuan Dalam Pemilu

Ketua Kaukus Perempuan Parlemen Diah Pitaloka

Jakarta, Dekannews - Ketua Kaukus Perempuan Parlemen Diah Pitaloka menyesalkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) No. 10 tahun 2023 yang dinilai merugikan keterwakilan kaum perempuan Indonesia dalam kontestasi pemilihan umum di DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kota/Kabupaten. Menurutnya, PKPU tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 yang menerapkan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan.

Diketahui, salah satu klausul dalam PKPU tersebut, yaitu Pasal 8 ayat (2) huruf b, mengatur bahwa, dalam hal penghitungan 30% (tiga puluh persen) jumlah bakal calon perempuan di setiap Dapil menghasilkan angka pecahan maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50 (lima puluh), hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah.

"Kalau kita sebetulnya berharapnya 30% minimal, hitung-hitungan KPU di PKPU membuat tidak terpenuhinya kuota 30% sebagai calon anggota legislatif, ini kan berarti tidak sesuai dengan UU-nya, berarti ini kan sebagai sebuah peraturan harus di-review dan juga harus direvisi. Kalau bisa ya hitungan desimalnya ke atas, bukan ke bawah perhitungannya, karena bunyi UU-nya minimal 30%, bukan maksimal 30%, itu yang kita sesalkan dari peraturan KPU Nomor 10 pasal 8," tegas Diah dikutip, Selasa (9/5).

Diah menjelaskan, jika yang menjadi alasan  peraturan tersebut adalah kurang tingginya semangat perempuan di dunia politik, hal tersebut dinilai tidak relevan dan kontradiktif. Sebab, jika dilihat dari Pemilu 2019, dari 30 persen perempuan yang menjadi calon legislatif, terpilih keterwakilan perempuan sebanyak 21 persen yang kini menduduki kursi DPR RI. Artinya, upaya politik kaum perempuan Indonesia dan langkah politiknya dalam mengikuti kontestasi pemilihan umum sebenarnya cukup signifikan.

"Saya rasa sumber daya politik perempuan hari ini cukup tinggi di partai politik. Tinggal bagaimana kemudian membangun semangat kaum perempuan untuk mengikuti pemilihan elektoral. Ini juga sebetulnya agenda yang sudah ada bertahun-tahun sejak norma hukumnya ada. Pasal mengenai affirmative action juga selalu terpenuhi, 30% di tiap pemilu, nggak pernah juga nggak terpenuhi, dan kenyataannya 21% perempuan menang dapat kursi, berarti kan tinggal bagaimana kita mendorong kaum perempuan Indonesia untuk bersemangat ikut electoral. Itu yang kita harapkan sebetulnya dari publik untuk membuat perempuan ini punya dorongan, dukungan dalam berpartisipasi," jelas Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini.

Selain itu, Diah menambahkan, jika dilihat saat ini, perempuan dalam ranah legislatif juga telah memiliki kualitas yang baik serta memberikan warna dalam pengambilan kebijakan. Jadi, tegasnya, anggota legislatif perempuan juga ketika dia mendapat kursi itu punya peran-peran strategis dalam parlemen.

“Ini (peraturan) juga yang kita sesalkan (karena) menjadi kontradiktif dengan semangat dari meningkatkan affirmative action. Toh bagus gitu ketika perempuan sadar politik, punya semangat politik, dan kemudian runang politik, dan kemudian punya kemenangan politik, sehingga dia juga bisa berkontribusi terhadap pengambilan-pengambilan menyangkut kepentingan bangsa, negara, dan juga masyarakat sekitarnya," lanjut Wakil Ketua Komisi yang salah satunya membidangi persoalan perempuan dan anak di DPR RI ini.

Untuk itu, Diah dengan tegas mendesak KPU untuk merevisi PKPU No. 10 Tahun 2023 tersebut. "Kita menolak pasal itu dan kita ingin supaya segera diganti, karena itu 30 persen minimal secara normatif sebagai peraturan, PKPU No. 10 itu sudah tidak sesuai dengan UU Pemilu," tutup Diah. RED