Peraturan dan Aturan: China Eksekusi Mati Koruptor Rp 6,7 Triliun, Indonesia Rugikan Negara Rp 300 Triliun, Hanya Dihukum 6,5 Tahun
KASUS korupsi besar yang terjadi di China dan Indonesia memberikan gambaran nyata tentang bagaimana perbedaan antara peraturan dan aturan dapat menciptakan ketimpangan dalam penegakan keadilan
Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)
Hari ini, saya merasa enggan untuk menulis artikel. Namun, pagi tadi saya melihat pipa bocor dan memutuskan untuk menulis artikel ringan ini. Artikel ini saya buat untuk memberikan informasi kepada pihak terkait agar segera menyelesaikan masalah tersebut. Selain itu, kebocoran pipa air juga memiliki makna yang lebih dalam, karena kebocoran bisa melambangkan korupsi dan hal-hal lain yang bersifat merusak. Kabar gembiranya, PAM Jaya telah memperbaikinya karena pipa air bocor tersebut milik mereka, dan saya juga telah menulis artikel mengenai hal ini.
Namun, setelah itu, tiba-tiba saya menerima pesan WhatsApp dari seorang tokoh senior yang berisi gambar mengenai sebuah kejadian di China, di mana negara tersebut mengalami kerugian sebesar Rp 6,7 triliun, yang berujung pada eksekusi mati terhadap Li Jianpin. Gambar lainnya menunjukkan peristiwa serupa di Indonesia, di mana negara dirugikan Rp 300 triliun, namun Harvey Moeis hanya dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
Yang menarik dari pesan tersebut adalah adanya pertanyaan mengenai perbedaan antara "peraturan" dan "aturan." Menanggapi pesan itu, saya langsung membalas dengan simbol orang hormat dengan kata, "SIAP." Saya juga membalas, "Izin saya buat tulisan ya, Komandan dari Opini ini, karena menarik." Saya merasa topik ini menarik untuk dibahas, terutama dalam konteks penegakan hukum di kedua negara tersebut.
Dalam hal ini, arti perbedaan antara peraturan dan aturan dapat kita temukan melalui pencarian di Google. Pada intinya, perbedaan antara peraturan dan aturan dalam hukum sering kali tampak sederhana, namun sebenarnya memiliki implikasi besar dalam praktik penegakan hukum. Peraturan, dalam konteks hukum, merujuk pada ketetapan resmi yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintahan atau badan berwenang dengan dasar hukum yang jelas dan bersifat legal-formal.
Peraturan ini memiliki kekuatan hukum yang mengikat, dan pelanggarannya dapat dikenai sanksi tegas yang ditentukan oleh sistem hukum yang berlaku. Sebaliknya, aturan lebih bersifat normatif dan fleksibel, sering kali diterapkan dalam lingkungan tertentu seperti organisasi, komunitas, atau kebiasaan masyarakat. Aturan lebih mengarah pada pembentukan kesadaran dan kedisiplinan individu, dengan tujuan mencegah terjadinya pelanggaran melalui pengaruh moral atau etik.
Kasus korupsi besar yang terjadi di China dan Indonesia memberikan gambaran nyata tentang bagaimana perbedaan antara peraturan dan aturan dapat menciptakan ketimpangan dalam penegakan keadilan. Di China, hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku korupsi seperti Li Jianpin, yang merugikan negara hingga Rp 6,7 triliun, menunjukkan betapa tegasnya negara tersebut dalam memberantas korupsi.
Li Jianpin dijatuhi hukuman mati setelah terbukti melakukan korupsi, penyuapan, penyelewengan dana publik, dan kolusi dengan sindikat kriminal. Kasus ini menjadi yang terbesar dalam sejarah China dan mencerminkan keberpihakan negara terhadap integritas pemerintahan serta kepercayaan publik. Hukuman mati di China bukan hanya sebagai bentuk keadilan, tetapi juga sebagai upaya memberikan efek jera maksimal bagi siapapun yang berani merusak sistem negara.
Berbeda dengan China, Indonesia menunjukkan ketimpangan yang mencolok dalam penegakan hukum terhadap kasus korupsi besar. Harvey Moeis, yang terlibat dalam kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah dengan kerugian negara mencapai Rp 300 triliun, hanya dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara serta denda Rp 1 miliar. Vonis itu menuai banyak kritik, mengingat besarnya kerugian yang ditimbulkan dari tindakannya.
Hukuman ringan tersebut mencerminkan lemahnya penerapan peraturan hukum di Indonesia, di mana meskipun terdapat undang-undang yang mengatur tentang pemberantasan korupsi, praktik penegakan hukum sering kali tidak sejalan dengan prinsip keadilan substantif. Hal ini menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap sistem hukum, yang berpotensi memperburuk krisis integritas di kalangan pejabat dan lembaga penegak hukum.
Ketimpangan ini lebih lanjut diperparah dengan fakta bahwa meskipun ada peraturan yang mengatur pemberantasan korupsi, sistem hukum Indonesia sering kali hanya mengandalkan aturan yang bersifat normatif dan tidak memberikan sanksi yang cukup keras bagi pelaku kejahatan besar. Dalam hal ini, aturan yang seharusnya menjadi pedoman moral untuk menjauhkan individu dari praktik korupsi malah berubah menjadi alat kompromi yang tidak efektif dalam menciptakan keadilan.
Penerapan peraturan yang tegas dan konsisten dalam sistem hukum suatu negara sangat penting. Peraturan harus berfungsi sebagai instrumen untuk memberikan efek jera, memastikan bahwa kejahatan besar seperti korupsi tidak dapat ditoleransi dalam bentuk apapun. Sementara itu, aturan, meskipun lebih bersifat moral, juga harus diintegrasikan dalam sistem hukum sebagai pedoman bagi individu untuk berperilaku dengan baik dan jujur.
Ketegasan dalam penegakan hukum, seperti yang diterapkan di China, memberikan pelajaran berharga bagi negara lain, termasuk Indonesia, untuk memperkuat sistem hukum dan menegakkan keadilan secara adil dan proporsional.Pada akhirnya, perbedaan antara peraturan dan aturan dalam hukum tidak hanya berpengaruh pada sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan, tetapi juga pada tingkat kepercayaan publik terhadap integritas hukum itu sendiri.
Penegakan hukum yang kuat dan tegas akan menciptakan rasa aman dan kepercayaan masyarakat, sementara penegakan yang lemah hanya akan memperburuk ketidakadilan dan merusak fondasi hukum itu sendiri. Oleh karena itu, reformasi hukum yang mendalam dan penerapan peraturan secara konsisten sangat dibutuhkan untuk memastikan terciptanya keadilan dan memperbaiki kepercayaan publik terhadap sistem hukum di Indonesia.