Mantan Sekda akan Gugat Walikota Depok ke PTUN

Mantan Sekda Depok, Hardiono (kedua dari kiri) bersama kuasa hukumnya, Fitrijansjah Toisutta (kedua dari kanan) beserta tim pengacara memberikan keterangan pers di Depok, kemarin-(Foto-Ist)

Jakarta,Dekannews-Mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Depok, Drg. Hardiono, Sp. BM akan menggugat Walikota Depok, K. H. Mohammad Idris Abdul Shomad ke Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN). Hardiono diberhentikan secara semena-mena sebagai ketua dewan pengawas Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Asasta Kota Depok Periode 2019-2022.

Pasalnya walikota Idris dinilai semena-mena telah memberhentikan  Hardiono secara sepihak dengan alasan sudah pensiun dari Aparatur Sipil Negara (ASN)/posisi sekda. Hardiono pun dicopot dari jabatannya sebagai ketua dewan pengawas PDAM Tirta Asasta sebelum 2022. 


Padahal, masa kerja Hardiono adalah sampai 2022. Hardiono sendiri diberhentikan dengan

Surat Keputusan Walikota Depok No: 800/47/Kpts/Ek/Huk/2021 tentang Pemberhentian dengan hormat Drg. Hardiono, Sp. BM dari ketua dewan pengawas Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Asasta Kota Depok Periode 2019-2022.


Lewat kuasa hukumnya, Fitrijansjah Toisutta, S. H., Hardiono pun melayangkan surat somasi dua kali ke Walikota Depok, Idris. Somasi yang pertama dilyangkan pada 10 Maret 2021 dan kedua, 19 Maret 2021.


Tampaknya, tidak ada itikat baik dari walikota Depok untuk menanggapi surat somasi itu. "Hingga kini, belum ada tanggapan serius dari mereka (walikota Depok dan PDAM  Tirta Asasta). Kami sudah layangkan somasi ke-2 atau terakhir. Sampai tujuh hari tidak ada tanggapan, kami akan ambil langkah hukum mengugat Walikota Depok, Mohammad Idris ke PTUN," ungkap Fitrijansjah, kepada wartawan, di Depok, Minggu (21/3/2021)


Ketika memberikan keterangan pers, sang pengacara hadir bersama Hardiono. Kata pengacara mantan sekda Depok itu, Walikota Idris telah melakukan pelanggaran dalam kasus ini. 


"Pertama, pelanggaran Pasal 28 jo Pasal 30, Ayat 1 dan 2 Peraturan Pemerintah (PP) No. 54/2017 tentang Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Kedua, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 37/2018 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan dewan pengawas dan direksi. Lalu, melanggar Perda No.10/2011.

Serta, melanggar sumpah jabatan yang diatur di Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 16/2016 tentang Tata Cara Pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota Pasal 18 angka 1 dan 3," tegasnya.


Diterangkan Fitrijansjah, surat keputusan walikota tentang pemberhentian Hardiono sebagai ketua dewan pengawas PDAM Tirta Asasta cacat hukum karena melanggar aturan (hukum yang ada). "Dalam somasi ke-2 ini kami sampaikan bahwa keputusan tentang pemberhentian ketua dewan pengawas dengan alasan pensiun itu melanggar Peraturan Daerah (Perda) No. 10/2011, Pasal 9, Ayat 2 bahwa pengangkatan dewan pengawas dan direksi itu dibuat oleh Peraturan Walikota," tukasnya.


Diungkapkan Fitrijansjah, yang  terjadi ada kesalahan, Peraturan Walikota tentang pengangkatan dan pemberhentian itu tidak diakui dalam Perda. "Yang diakui cuma pengangkatan. Artinya, surat Peraturan Walikota No 30/2015 itu cacat hukum dan harus dicabut," ia mengatakan.


Sehingga, imbuh pengacara berkaca mata itu, akibat hukumnya: surat pemberhentian terhadap ketua dewan pengawas cacat hukum. "Akibat yang ditimbulkan pun cacat hukum juga," paparnya.


Dia pun menegaskan, kliennya telah mengembalikan emas 

LM 16 gram dan cek tunai Rp 169 juta ke walikota dan PDAM. "Tapi, ditolak oleh mereka. Hanya surat somasi 1 dan 2 yang diterima. Klien kami mengembalikan emas dan cek tunai itu karena hal tersebut ada indikasi jebakan. Mengapa? Karena, secara de facto dan de jure, itu cacat hukum. Itu bukan milik klien kami. Makanya, kami kembalikan ke walikota," terangnya.


Dipaparkannya, walikota Depok dalam hal ini sudah jelas melanggar beberapa pasal dan dalam gugatan di PTUN nanti, di petitum, pihaknya akan meminta agar walikota Depok dicopot. "Dan, supaya DPRD melakukan interpelasi sehingga walikota dipecat. Kami juga akan minta ahli dan pakar hukum untuk menyikapi cacat hukumnya walikota Depok dalam kasus ini," dia meminta.


Hardiono sendiri merasa ada keanehan dan keganjilan dalam surat pemberhentiannya. "Terkait SK saya, SK saya dikeluarkan tanggal 1 Februari 2021. Tapi, diberikannya pada 2 Maret 2021. Mengapa jauh sekali, 1 bulan baru diberikan?" tanyanya heran.


Menurut bakal calon walikota yang gagal maju di Pilkada Depok 2020 karena "diganjal" (akibat surat pengunduran dirinya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) alias Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak disetujui walikota incumbent Idris) ini, dirinya pun sangat heran dan bertanya-tanya mengapa ia diberhentikan di tengah jalan (2021) padahal masa tugasnya sampai 2022. "Kalau ditanya kenapa? Ya dugaan saya, kemungkinan pak walikota yang baru terpilih akan mengganti dengan orang-orangnya, itu dugaann saya saja," tukasnya.


Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Prof. Dr. Syahidin, M.Pd menilai, pemberhentian Ketua Dewan Pengawas (Dewas PDAM Tirta Asasta)  Depok, Hardiono itu tidak tepat. Kata dia, perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap aturan dan perundang-undangan yang mengatur hal itu.


"Jika pemberhentian itu dilakukan tanpa adanya mekanisme yang benar, artinya itu sudah melanggar ketentuan," ucap Prof. Syahidin ketika dihubungi wartawan melalui via selular pribadinya, Minggu sore (21/3/2021). 


Guru besar UPI ini juga menjelaskan somasi yang dilayangkan Hardiono ke walikota hanya memperpanjang waktu. Ia menyarankan persoalan pelanggaran administrasi bisa dilakukan langsung melalui gugatan ke PTUN.


"Kita bisa mempelajari dan melihat dari aspek-aspeknya, kan. Jika sudah jelas bisa langsung layangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)," jelasnya.


Terpisah, pengamat kebijakan publik dari Budgeting Metropolitan Watch (BMW), Amir Hamzah menilai, langkah mantan Sekda Kota Depok, Hardiono menggugat Walikota Mohammad Idris Abdul Shomad ke PTUN sudah tepat. Karena, kata Amir, Hardiono sangat dirugikan dengan pencopotannya sebagai ketua dewan pengawas PDAM.


"Tidak perlu menunggu somasi ke-2 selesai. Sekarang, langsung gugat saja ke PTUN sambil menunggu somasi terakhir itu," tegasnya.


Amir menerangkan, dalam UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, ada ketentuan yang mengatur bahwa setiap pihak yang merasa dirugikan oleh keputusan/kebijakan pejabat,  publik bisa melakukan gugatan lewat PTUN. Saat ditanya mengenai kemungkinan Walikota Depok bisa diberhentikan dari jabatannya jika hakim memutuskan dia bersalah secara hukum, Amir menjawab, hal itu tidak langsung otomatis seperti itu.


"Keputusan hakim tidak bisa memberhentikan dia sebagai walikota. Tetapi, bisa membatalkan surat keputusan pemberhentian Hardiono sebagai ketua dewan pengawas PDAM," tandasnya.


Nah, lanjut pengamat senior tersebut, persoalan hal tersebut berimplikasi politis, itu sangat bisa terjadi melalui anggota dewan. "Jadi dewan (anggota DPRD Kota Depok) bisa mengajukan interpelasi ke walikota. Tergantung dewan mau tidak melakukan hal itu," paparnya. (nto)