Majunya Anies dan Koalisi KIM Plus Serta Tertutupnya Kemunculan Tokoh Betawi di Pilkada Jakarta 2024
FAKTANYA, banyak tokoh Betawi yang layak diusung sebagai cagub atau calon cawagub Jakarta!
Oleh: Sugiyanto (SGY)-Emik
Penulis adalah masyarakat awam pendukung pemimpin Jakarta asli Betawi untuk Pilkada 2029, lahir dan besar di Tanjung Priok, Jakarta, sejak tahun 1968.
Pada Minggu, 6 Oktober 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menyelenggarakan debat perdana calon gubernur (Cagub) dan calon wakil gubernur (Cawagub) DKI Jakarta di JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat. Tiga pasangan calon yang berpartisipasi dalam Pilkada Jakarta 2024 adalah pasangan nomor urut 1 Ridwan Kamil-Suswono, nomor urut 2 Dharma Pongrekun-Kun Wardana, dan nomor urut 3 Pramono Anung-Rano Karno. Tema debat adalah "Penguatan Sumber Daya Manusia dan Transformasi Jakarta menjadi Kota Global."
Dalam perdebatan tersebut, muncul pertanyaan mengenai budaya Betawi. Sayangnya, dari ketiga calon pemimpin tersebut, tidak ada satu pun yang merupakan putra daerah asli Betawi. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh dinamika politik yang melibatkan pencalonan Anies Baswedan dan terbentuknya Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus.
Meskipun Anies gagal maju dalam Pilkada Jakarta, konstelasi politik di Jakarta tetap erat kaitannya dengan upaya mendorongnya kembali mencalonkan diri pada Pilkada November 2024. Kondisi ini muncul setelah kekalahannya dalam pemilihan presiden pada Februari 2024, namun peluang Anies untuk menang di Pilkada Jakarta 2024 masih terbuka. Anies awalnya diusung oleh PKS, namun dukungan ini terhenti karena PKS kekurangan kursi di DPRD DKI Jakarta. PKS hanya memiliki 18 kursi, sementara syarat pencalonan minimal membutuhkan 22 kursi, sehingga PKS terpaksa menarik dukungannya.
Dalam situasi ini, PKS dan partai lainnya akhirnya bergabung dengan KIM Plus, menyisakan PDIP sebagai satu-satunya partai yang berdiri sendiri. Dengan bergabungnya partai-partai besar ke KIM Plus, peluang munculnya tokoh asli Betawi di Pilkada Jakarta 2024 semakin tertutup. Partai politik lebih memprioritaskan elektabilitas dan popularitas, mengesampingkan tokoh Betawi sebagai calon.
Keputusan MK dan Peluang yang Tertutup bagi Tokoh Betawi
Menjelang akhir masa pendaftaran calon kepala daerah, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan Partai Gelora dan Partai Buruh, dengan menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah dari 20 persen suara sah partai atau gabungan menjadi 7,5 persen. Keputusan ini seharusnya membuka peluang lebih besar bagi partai politik untuk mengusung calon kepala daerah di Pilkada Jakarta 2024.
Namun kenyataannya, delapan partai besar—PKS, PDIP, Gerindra, Golkar, PAN, PSI, Nasdem, dan PKB—telah memenuhi persyaratan 7,5 persen dan berpotensi mengusulkan pasangan calon cagub dan cawagub mereka sendiri. Meskipun demikian, tak satu pun dari partai-partai ini mengusulkan tokoh asli Betawi sebagai calon pemimpin.
Partai Demokrat, yang memperoleh 7,3 persen suara, masih memiliki peluang mencalonkan diri dengan membentuk koalisi bersama partai lain seperti Perindo, PPP, Partai Buruh, atau Partai Gelora. Dengan demikian, setidaknya ada sembilan pasangan calon yang berpotensi tampil. Namun nyatanya, tidak satu pun calon pemimpin Jakarta yang berasal dari kalangan putra daerah atau asli Betawi.
Banyaknya Tokoh Betawi yang Layak Diusung
Faktanya, banyak tokoh Betawi yang layak diusung sebagai cagub atau calon cawagub Jakarta! Beberapa nama yang patut dipertimbangkan antara lain Mayor Jenderal TNI (Purn) Nachrowi Ramli, Marullah Matali, Bahrullah Akbar, KH Lutfi Hakim, Biem Binyamin, H. Abdul Ghoni, M Rifqi (Eky Pitung), Ahmad Azran, Zainuddin MH (Haji Oding), M. Ihsan, dan masih banyak lagi. Namun, realitas politik berbeda. Hampir semua partai besar, kecuali PDIP, telah bergabung dalam KIM Plus yang mengusung pasangan Ridwan Kamil-Suswono (RIDO). Sedangkan, PDIP mengusung pasangan Pramono Anung-Rano Karno. Kondisi ini menutup peluang bagi tokoh asli Betawi untuk tampil.
KIM Plus, yang didominasi oleh 13 partai politik—Gerindra, PKS, Golkar, Nasdem, Demokrat, PSI, PKB, dan lainnya—telah menjadi kekuatan dominan di Jakarta. Kondisi ini mungkin juga menjadi peyebab yang menghalangi munculnya tokoh Betawi sebagai calon pemimpin Jakarta. Partai-partai mungkin lebih memprioritaskan elektabilitas dan kekuatan politik koalisi besar, tanpa memperhitungkan kepentingan masyarakat lokal seperti komunitas Betawi.
Padahal, partai seperti PKS atau PKB yang memiliki basis pendukung kuat di Jakarta bisa saja mengusung tokoh Betawi. Namun, mereka lebih memilih bersatu dalam KIM Plus. Bahkan PDIP, yang berada di luar koalisi KIM Plus, juga tidak mengusung calon dari kalangan asli Betawi, meskipun mereka tidak bergabung dalam koalisi tersebut.
Dengan terbentuknya koalisi besar ini, tokoh Betawi yang diharapkan dapat tampil di Pilkada Jakarta harus menerima kenyataan pahit. Tokoh-tokoh lokal Betawi, yang diharapkan mampu mewakili aspirasi komunitas Betawi, tidak mendapat tempat dalam kontestasi politik 2024.
Sekarang fakta berbicara, hanya dua pasangan calon yang maju dari partai politik—Ridwan Kamil-Suswono dari KIM Plus dan Pramono Anung-Rano Karno dari PDI-P. Dengan demikian, ruang bagi tokoh asli Betawi untuk tampil sebagai pemimpin Jakarta tertutup. Padahal, dengan adanya Undang-Undang No. 2 Tahun 2024 tentang DKJ, partai politik seharusnya bisa mengakomodasi putra daerah asli Betawi sebagai calon pemimpin Jakarta. Namun, dalam realitas politik kali ini, kesempatan tersebut tidak terwujud.
Saya telah menulis dua artikel berjudul "Ketika Kampung Betawi Dikepung Calon Pemimpin dari Putra Daerah Lain" dan "Pilkada Jakarta 2024: Kebanggaan Sejati Adalah Mendukung Calon Pemimpin Putra Daerah Betawi, Bukan Tokoh Luar Daerah." Artikel-artikel ini saya tulis karena saya lahir dan besar di Tanjung Priok, Jakarta, sejak tahun 1968. Ini adalah bukti nyata dorongan saya untuk menegakkan kebanggaan Betawi dan mendukung agar putra daerah Betawi bisa tampil di Pilkada Jakarta 2029.