KTT G20 2024 di Brasil: Kemiskinan, Kelaparan, dan Simalakama Kenaikan PPN 12% dalam Target Pajak, Defisit APBN, serta Usulan Penundaan Pajak

Foto Presiden RI Prabowo Subianto (Ist)

MASYARAKAT hanya bisa pasrah atas rencana kenaikan pajak PPN 12 persen ini. Namun demikian masih ada sedikit harapan dari Presiden Prabowo untuk membuat keputusan yang bijak dalam mengelola kebijakan ini demi kesejahteraan rakyat

Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)
 
“Artikel ini saya buat panjang karena rencana pemerintah menaikkan PPN 12% pada Januari 2025 merupakan isu krusial dengan dampak luas, terutama di tengah kondisi ekonomi rakyat yang belum sepenuhnya pulih pasca-Wabah COVID-19.”
 
Beberapa hari yang lalu, perhatian dunia, khususnya rakyat Indonesia, tertuju pada pernyataan Presiden Prabowo Subianto dalam sesi pertama KTT G20 di Brasil yang viral di media sosial (Medsos). Pernyataan tersebut juga diunggah melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden pada Selasa (19/11/2024). Dalam kesempatan itu, Presiden Prabowo menegaskan bahwa kemiskinan dan kelaparan adalah persoalan nasional yang sangat vital bagi Indonesia, negara dengan populasi terbesar keempat di dunia. Ia juga mengungkapkan data mencengangkan bahwa 25 persen anak Indonesia mengalami kelaparan setiap hari.
 
Awalnya, Prabowo memuji Presiden Brasil, Lula da Silva, atas fokusnya pada isu kemiskinan dan kelaparan. Ia kemudian menegaskan bahwa dalam pemerintahan yang ia pimpin, anggaran pendidikan akan menjadi prioritas utama. Menurut Prabowo, pendidikan adalah kunci untuk membawa Indonesia keluar dari lingkaran kemiskinan dan menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi rakyatnya. Sebagai langkah konkret, Prabowo mengumumkan rencana peluncuran program makan bergizi gratis (MBG). Program ini bertujuan tidak hanya untuk mengatasi kelaparan tetapi juga mendorong pemberdayaan kaum muda agar mereka memahami pentingnya pendidikan. Dengan langkah ini, Prabowo optimistis mampu mengatasi masalah kelaparan di Indonesia.
 
Benang merah dari pernyataan Prabowo di KTT G20 Brasil mengenai hal tersebut mencakup tiga poin utama. Pertama, Indonesia masih menghadapi tingkat kemiskinan yang tinggi. Kedua, sekitar 25 persen anak-anak Indonesia masih mengalami kelaparan setiap hari. Ketiga, Prabowo menekankan bahwa untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan anggaran besar yang harus dialokasikan secara efektif, di mana keberadaan sumber dana yang cukup menjadi kunci utama.
 
Butuh Anggaran Besar Untuk Pengentasan Kemiskinan dan Makan Bergizi Gratis

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2024 tercatat sebesar 9,03 persen, yang setara dengan 25,22 juta orang. Sementara itu, merujuk pada informasi dari Kementerian Keuangan di era Presiden Joko Widodo (Jokowi), diketahui bahwa dari sisi fiskal, melalui instrumen APBN, alokasi anggaran untuk pengentasan kemiskinan atau perlindungan sosial (perlinsos) pada Tahun Anggaran (TA) 2024 diperkirakan sebesar Rp496,8 triliun. Angka ini meningkat dibandingkan dengan TA 2023 yang sebesar Rp476 triliun. 

Selain itu, alokasi ini juga diperkuat dengan dana Transfer Ke Daerah (TKD), seperti Dana Alokasi Khusus (DAK) Nonfisik sebesar Rp133,76 triliun, Dana Desa sebesar Rp71 triliun, serta insentif fiskal sekitar Rp8 triliun yang mencakup alokasi untuk penurunan prevalensi stunting, pengurangan kemiskinan ekstrem, dan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah membutuhkan anggaran besar untuk dialokasikan sebagai bukti komitmen serius dalam mengatasi kemiskinan. Kebutuhan anggaran untuk program ini diperkirakan akan meningkat pada tahun 2025 dan tahun-tahun berikutnya di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
 
Selain anggaran besar untuk program pengentasan kemiskinan, pemerintah juga harus menjalankan program makan bergizi gratis. Berdasarkan data dan informasi dari Badan Gizi Nasional program unggulan presiden terpilih Prabowo Subianto ini diperkirakan akan memerlukan anggaran sekitar Rp400 triliun per tahun ketika berjalan penuh. Program ini bertujuan untuk memberikan makan bergizi gratis kepada 82,9 juta jiwa. 

Anggaran harian yang dibutuhkan untuk makan bergizi gratis atau MBG mencapai Rp1,2 triliun, dengan 75% dari jumlah tersebut atau sekitar Rp800 miliar dialokasikan untuk intervensi makan gratis di sekolah. Sebanyak 85% dari Rp800 miliar akan digunakan untuk membeli bahan baku makanan bergizi. Program MBG dijadwalkan dimulai pada Januari 2025 dengan penerapan bertahap, sehingga tidak langsung memerlukan anggaran sebesar Rp400 triliun pada tahun pertama. Program ini membutuhkan dana dan sumber daya besar, seperti yang dibuktikan MBG dari percontohan yang melibatkan 3.000 anak sekolah dengan kebutuhan bahan pangan yang signifikan setiap hari.

Target Pajak dan Defisit APBN serta Simalakama kenaikan PPN 12 Persen

Berdasarkan data dan informasi yang ada, Pendapatan Negara tahun 2024 diperkirakan mencapai Rp2.802,3 triliun, dengan sumber terbesar berasal dari penerimaan perpajakan sebesar Rp2.309,9 triliun, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp492 triliun. Sedangkan untuk Belanja Negara dalam APBN 2024 direncanakan sebesar Rp3.325,1 triliun, dengan alokasi terbesar untuk Belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp2.467,5 triliun, serta Transfer ke Daerah sebesar Rp857,6 triliun. Defisit APBN 2024 telah disepakati oleh DPR RI sebesar 2,29% dari PDB, atau secara nominal sekitar Rp522,8 triliun, yang tercantum dalam UU RAPBN 2024.

Terkait hal tersebut, realisasi kinerja pendapatan negara hingga 31 Oktober 2024 tercatat sebesar Rp2.247,5 triliun, atau 80,2% dari target APBN, dengan pertumbuhan 0,3% (yoy). Sementara itu, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengalami defisit sebesar Rp309,2 triliun pada periode yang sama. Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa defisit ini setara dengan minus 1,37% terhadap gross domestic product (GDP). Meskipun defisit ini, menurut ketentuan yang tertuang dalam undang-undang, masih lebih kecil dibandingkan dengan pagu defisit APBN 2024 yang telah disepakati bersama DPR, yaitu 2,29% dari produk domestik bruto (PDB).

Sedangkan untuk tahun 2025, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) APBN Tahun Anggaran 2025 menjadi UU APBN 2025. Untuk endapatan negara diperkirakan mencapai Rp3.005,1 triliun, meliputi penerimaan perpajakan sebesar Rp2.490,9 triliun dan PNBP sebesar Rp513,6 triliun. Untuk belanja negara direncanakan sebesar Rp3.621,3 triliun, dengan alokasi terbesar untuk Kementerian/Lembaga (K/L) Rp1.160,1 triliun dan Transfer ke Daerah Rp919,9 triliun. Defisit APBN 2025 ditetapkan sebesar 2,53% dari PDB atau Rp616,2 triliun, dengan pembiayaan utang sebesar Rp775,9 triliun. 

Program prioritas yang didukung APBN 2025 meliputi Makan Bergizi Gratis (MBG), ketahanan pangan, serta pembangunan dan renovasi sekolah. APBN 2025 ini dirancang untuk mendukung transisi pemerintahan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi 5,2% dan inflasi terkendali sebesar 2,5%.
 
Untuk mendukung dan mensukseskan semua program pemerintah dalam kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, salah satu caranya dalah memenuhi target pendpatan dari pajak. Dalam konteks ini, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang direncanakan mulai berlaku pada Januari 2025 menjadi pilihan jalan yang harus diambil. Meskipun hal ini bisa menjadi ujian berat bagi Presiden Prabowo Subianto yang baru saja dilantik. 

Di satu sisi, pemerintah membutuhkan pendapatan negara yang lebih besar untuk mendukung pembangunan nasional. Namun di sisi lain, rakyat, terutama kelompok menengah ke bawah, sedang berada dalam tekanan ekonomi yang sangat berat. Situasi ini menjadi seperti buah simalakama. Dalah hal ini,  jika kebijakan kenaikan PPN diterapkan, pemerintah mungkin akan meraup pendapatan lebih besar, tetapi beban hidup rakyat akan semakin berat. Sebaliknya, jika kenaikan PPN ditunda, pemerintah harus mencari cara lain untuk menutup kebutuhan anggaran tanpa membebani rakyat.

Pengertian tentang PPN sering kali dipahami oleh masyarakat sebagai pajak yang akhirnya membebani konsumen, karena dampaknya terlihat pada kenaikan harga barang dan jasa. PPN sendiri adalah pajak yang harus dibayar oleh konsumen saat melakukan transaksi atas barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP). Perusahaan atau pihak yang telah ditetapkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP) memiliki kewajiban untuk menyetorkan PPN yang terutang kepada negara.

Terkait dengan rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa kebijakan ini akan tetap dilaksanakan sesuai dengan mandat Undang-Undang (UU). Kenaikan tarif PPN ini direncanakan berlaku mulai 1 Januari 2025, dan hal tersebut disampaikan oleh Menkeu pada rapat dengar pendapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Rabu, 13 November 2024.

Pemerintah tampaknya akan tetap melanjutkan rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada Januari 2025, mengingat kebutuhan mendesak akan tambahan penerimaan dana untuk pembangunan di tengah proyeksi defisit APBN 2025 sebesar 2,53% dari PDB, atau sekitar Rp616,2 triliun. Kebijakan ini menjadi lebih logis mengingat pernyataan Sekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, yang menyebutkan bahwa kenaikan tarif PPN sebesar 1 persen berpotensi meningkatkan penerimaan pajak sekitar 10 persen. 

Dengan demikian, penerimaan PPN pada 2025 diperkirakan akan meningkat sekitar Rp 70 triliun. Namun demikian, akan sangat bijaksana Presiden Prabowo Subianto mendengarkan aspirasi masyarakat mengenai permintaan penundaan kenaikan PPN 12 persen ini sebelum memutuskan untuk menerapkannya pada Januari 2025. Melalui artikel ini, saya mencoba menyampaikan usulan untuk menunda kenaikan PPN 12 persen tersebut dan menawarkan alternatif solusi lainnya.

Mengapa Presiden Prabowo Subianto Sebaiknya Menunda Kenaikan PPN 12%?

Merujuk pada pernyataan Presiden Prabowo Subianto beberapa hari lalu di KTT G20 di Brasil yang viral di media sosial mengenai kemiskinan dan kelaparan, beliau menegaskan bahwa masalah ini merupakan persoalan nasional yang sangat vital bagi Indonesia. Presiden Prabowo juga mengungkapkan data mencengangkan bahwa 25 persen anak Indonesia mengalami kelaparan setiap hari. 

Terkait hal tersebut, berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin pada Maret 2024 tercatat sebesar 25,22 juta orang, yang menunjukkan masih banyaknya penduduk Indonesia yang hidup dalam kemiskinan.
Dalam konteks ini, jika kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen diberlakukan pada Januari 2025, dampaknya kemungkinan besar akan memperburuk kondisi kehidupan rakyat miskin. 

Sejak kenaikan PPN dari 10% ke 11% pada April 2022, dampaknya terhadap inflasi dan harga kebutuhan pokok sudah sangat dirasakan masyarakat. Daya beli rakyat, yang belum sepenuhnya pulih pasca COVID-19, semakin tertekan. Kenaikan PPN dari 11% ke 12% berisiko memperburuk kondisi ini, terutama bagi keluarga berpenghasilan rendah yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, pendidikan, dan kesehatan. Jika kebijakan ini tetap dilaksanakan, risiko peningkatan angka kemiskinan dan ketimpangan sosial akan semakin besar.

Selain itu, kenaikan tarif PPN 12 persen ini kemungkinan akan langsung berdampak pada harga barang dan jasa. Efek domino ini tidak hanya menekan daya beli, tetapi juga meningkatkan biaya operasional pelaku usaha, khususnya UMKM. Ketika biaya produksi meningkat, banyak pelaku usaha yang akan kesulitan bersaing, sehingga risiko gulung tikar semakin besar. Akibatnya, angka pengangguran dapat meningkat, dan pertumbuhan ekonomi terancam stagnan. 

Sebagai presiden baru, Prabowo menghadapi ekspektasi besar dari masyarakat untuk membawa perubahan yang lebih baik. Namun, kebijakan kenaikan PPN berpotensi menimbulkan sentimen negatif terhadap pemerintahannya. Jika kebijakan ini dianggap memberatkan rakyat, kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Prabowo bisa saja menurun, dan hal ini akan menjadi tantangan politik yang signifikan bagi pemerintahan Prabowo Subianto di awal periode kepemimpinannya.
 

Solusi Penundaan Kenaikan Pajak PPN 12% dan Alternatif Kebijakan

Daripada menaikkan PPN 12% di tengah kondisi ekonomi yang belum stabil, pemerintah sebaiknya mempertimbangkan penundaan kebijakan ini. Setidaknya terdapat beberapa alternatif yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Salah satunya adalah optimalisasi penerimaan pajak lain. Pemerintah dapat memperbaiki pengawasan dan penegakan hukum terkait pajak di sektor-sektor yang belum terjangkau, seperti pajak ekonomi digital, pajak kekayaan (wealth tax), atau pajak karbon. 

Dengan langkah itu, pendapatan negara dapat meningkat tanpa harus membebani rakyat kecil.
Alternatif lainnya adalah efisiensi anggaran negara. Pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap belanja negara untuk memastikan tidak ada kebocoran atau pengeluaran yang tidak produktif. Belanja-belanja yang tidak prioritas bisa dialihkan untuk menutup defisit anggaran. 

Selain itu, program perlindungan sosial yang memadai juga penting. Jika pemerintah tetap menaikkan PPN 12 persen, maka harus ada program kompensasi yang signifikan, seperti subsidi kebutuhan pokok, bantuan langsung tunai (BLT), atau insentif untuk pelaku UMKM. Program ini akan membantu masyarakat bertahan di tengah tekanan ekonomi.

Terakhir, pemerintah juga bisa mempertimbangkan alternatif mengenai tahapan kenaikan yang lebih bertahap. Sebagai opsi lain, pemerintah bisa mengkaji kembali tahapan kenaikan PPN 12 persen ini, misalnya dengan menaikkannya secara bertahap dalam waktu yang lebih panjang, sehingga dampaknya terhadap masyarakat tidak terlalu drastis.
Harapan besar tertuju pada Presiden Prabowo untuk membuat keputusan yang bijak dalam mengelola kebijakan ini demi kesejahteraan rakyat.

Sekarang masyrakat hanya bisa pasrah atas rencana kenaikan pajak PPN 12 persen ini. Namun demikian masih ada sedikit harapan dari Presiden Prabowo untuk membuat keputusan yang bijak dalam mengelola kebijakan ini demi kesejahteraan rakyat. Sebagai pemimpin yang dikenal tegas namun peka terhadap aspirasi rakyat, Presiden Prabowo sebaiknya mengambil langkah berani untuk menunda kenaikan PPN ini. Langkah ini akan menunjukkan komitmennya dalam melindungi kesejahteraan rakyat, sekaligus memberikan waktu bagi perekonomian untuk pulih lebih stabil.

Pada masa-masa awal pemerintahan, keputusan untuk menunda kebijakan yang berpotensi membebani rakyat dapat menjadi langkah strategis untuk menjaga stabilitas ekonomi dan politik. Sebagai pemimpin, Prabowo memiliki peluang besar untuk menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi di bawah kepemimpinannya adalah kebijakan yang pro-rakyat.