Kolaborasi Polda Metro dengan Ojol Dahsyat: Sikap Wakapolda Brigjen Dekananto Patut Diapresiasi

Foto-IST/INT: Wakapolda Metro Jaya, Brigjen Pol Dekananto Eko Purwono

Jika kedua inisiatif ini berjalan beriringan, citra kepolisian akan semakin dekat dengan rakyat, bukan sekadar institusi yang hadir saat ada masalah.

Oleh : Sugiyanto (SGY)-Emik

Aktivis Jakarta

Kolaborasi antara Polda Metro Jaya dan pengemudi ojek online (ojol) melalui program “Ojol Kamtibmas” layak diapresiasi sebagai terobosan dalam upaya memperkuat keamanan di Ibu Kota. Program yang diluncurkan pada 26 September 2025 di Stasiun Juanda, Jakarta Pusat ini memosisikan ojol sebagai “mata dan telinga” polisi di jalanan. Setiap laporan valid berupa rekaman aksi kriminal yang disampaikan ojol akan mendapatkan insentif sebesar Rp500.000.

Wakapolda Metro Jaya, Brigjen Pol Dekananto Eko Purwono, menegaskan bahwa keamanan bukan hanya tugas polisi semata, melainkan tanggung jawab bersama. Dalam konteks itu, posisi ojol yang hampir sepanjang waktu berada di jalan menjadikan mereka mitra strategis untuk deteksi dini gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat. Kehadiran komunitas Ojol Kamtibmas sebagai wadah komunikasi dan koordinasi memperkuat landasan program ini, sekaligus menciptakan forum partisipatif yang lebih sistematis.

Konsep yang dibawa program ini sejalan dengan prinsip community policing, yakni pendekatan keamanan yang menekankan kemitraan polisi dengan masyarakat. Dengan melibatkan ojol, jangkauan pengawasan bisa diperluas hingga ke titik-titik rawan atau “blind spot” yang selama ini kurang tersentuh patroli konvensional. Jika dieksekusi dengan baik, kolaborasi ini berpotensi mengurangi angka kriminalitas di jalanan Jakarta, sekaligus meningkatkan rasa aman publik.

Meski demikian, agar program tidak sekadar menjadi retorika atau bahkan menimbulkan masalah baru, diperlukan pijakan aturan dan mekanisme kontrol yang tegas. Pertama, validitas laporan harus diverifikasi secara objektif dengan bukti video, keterangan saksi, serta metadata waktu dan lokasi, untuk mencegah laporan palsu demi insentif. 

Kedua, distribusi insentif harus transparan dan akuntabel agar tidak menimbulkan praktik penyimpangan. Ketiga, cakupan kejahatan yang dapat dilaporkan perlu dibatasi pada tindak pidana tertentu seperti pencurian, kekerasan, atau perundungan, sehingga ojol tidak terbebani melaporkan hal-hal sepele. 

Keempat, identitas pelapor harus dilindungi demi keamanan mereka dari potensi pembalasan. Kelima, laporan ojol wajib langsung terintegrasi dengan sistem kepolisian di tingkat polsek atau polres agar cepat ditindaklanjuti. Evaluasi berkala melalui audit independen juga penting untuk mengukur efektivitas, menemukan kelemahan, serta merancang perbaikan berkelanjutan.

Selain aspek teknis, terdapat pula sisi sosial yang perlu dicermati. Memberi insentif kepada warga untuk melaporkan tindak kriminal bisa menimbulkan dilema etis, seperti munculnya budaya “saling mengintip” atau laporan berlebihan yang membebani aparat. 

Namun dengan desain yang tepat, program ini justru bisa memperkuat kesadaran kolektif bahwa keamanan adalah hak sekaligus kewajiban bersama. Sinergi antara polisi dan masyarakat akan menjadikan keamanan kota bukan hanya bergantung pada jumlah aparat, tetapi juga pada partisipasi aktif warga dalam menjaga lingkungannya.

Inovasi Polda Metro Jaya  ini menjadi bukti bahwa kepemimpinan di tubuh kepolisian dapat menghadirkan kebijakan kreatif berbasis partisipasi masyarakat. Peluncuran gerai pangan murah Rakyat Mart di Polsubsektor Juanda yang dilakukan bersamaan juga memperlihatkan bahwa pendekatan keamanan bisa dibarengi dengan penguatan aspek sosial-ekonomi. Jl

Jika kedua inisiatif ini berjalan beriringan, citra kepolisian akan semakin dekat dengan rakyat, bukan sekadar institusi yang hadir saat ada masalah.

Karena itu, pernyataan Wakapolda Metro Jaya Brigjen Pol Dekananto terkait program tersebut patut diapresiasi. Program ini bukan hanya “dahsyat” dari sisi gagasan, tetapi juga menjadi momentum penting bagi transformasi peran polisi, dari sekadar aparat represif menjadi mitra aktif masyarakat. Dengan pengawalan publik yang konsisten, kolaborasi ini berpotensi menjadi model baru dalam pembangunan keamanan partisipatif di Indonesia. 

 

Selesai.