Jatam: Ratusan Konsesi Tambang Rusak Puluhan Pulau Kecil

Alam yang rusak karena penambangan. (Foto: Greenpeace)

Jakarta, Harian Umum- Laporan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menguak 164 konsesi tambang mineral dan batu bara yang tersebar di 55 pulau kecil.

Jatam mencatat sejumlah kerusakan lingkungan dan sosial sebagai dampak dari eksploitasi sumber daya alam di pulau-pulau kecil tersebut.

Laporan Jatam itu berjudul "Pulau Kecil Indonesia, Tanah Air dan Tambang: Laporan Penghancuran Sekujur Tubuh Pulau Kecil Indonesia oleh Tambang Mineral dan Batubara".

Jatam mencermati daya rusak yang timbul di tiga pulau yakni Pulau Gebe di Maluku Utara, Pulau Bunyu di Kalimantan Utara, dan Pulau Bangka di Sulawesi Utara.

Alwiya Shahbanu, salah seorang penulis laporan dari Jatam, menceritakan dahysatnya kerusakan lingkungan di pulau-pulau kecil yang dijamah raksasa tambang.

Dari pulau seluas 198 kilometer persegi itu, tambang batu bara dan migas menjadi pemandangan sehari-hari penduduk setempat. Menurut penelusuran Alwiya, ada tiga perusahaan tambang yang setidaknya mendominasi pulau itu yakni Pertamina untuk migas, serta Adani Group dan PT Garda Tujuh Buana untuk tambang batu bara.

Dua kerusakan lingkungan akibat tambang yang paling disorot dalam laporan Jatam ini adalah sumber mata air penduduk yang hilang dan makin sulitnya produksi pangan.

"Ada tiga sumber air utama, Sungai Ciput, Sungai Barat, dan Sungai Lumpur, tapi warga sangat kesulitan mengonsumsi sungai-sungai itu karena sudah sangat kering dan tercemar," ujar Alwiya dalam paparan yang digelar Jatam di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Senin (25/3/2019).

Situasi serupa terjadi ketika warga hendak menampung air hujan. Alwiya mengatakan di beberapa daerah yang mengandalkan air hujan sebagai pasokan air bersih juga kesulitan karena dalam kurun dua-tiga hari air hujan yang mereka tampung akan menghitam.

Air yang menghitam itu terjadi tak lain karena tempat tinggal mereka tak jauh dari area tambang.

"Mau enggak mau mereka harus beli (air)," ujar Alwiya.

Malapetaka lain yang dicatat oleh Jatam dari menjamurnya tambang di Pulau Bunyu adalah lenyapnya sumber pangan warga. Lahan tambang disebut memakan sawah dan ladang yang memproduksi pasokan beras di pulau.

Begitu pula dengan produksi salak yang semula adalah ikon pertanian Bunyu. Meski masih memproduksi, jumlah salak yang dipanen warga lokal merosot tajam dibanding sebelumnya.

"Di Bunyu itu salah satu ikonnya salak, yang oleh warga diolah menjadi keripik. Sebelumnya, sekali panen bisa 3 ton, sekarang hanya 30-40 kilogram sekali panen," kata Alwiya.

Merujuk pada kerusakan-kerusakan tersebut, Jatam berharap pemerintah mencabut izin pertambangan di pulau-pulau kecil. Mereka juga mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melakukan audit terhadap tambang-tambang di pulau-pulau kecil seperti Pulau Bunyu. (sumber: CNN)