Aktivis Muhammadiyah Minta Jenazah Ratusan Petugas KPPS yang Meninggal Diotopsi
Jakarta, Dekannews- Ativis PP Pemuda Muhammadiyah, Mustofa Nahrawardaya, meminta pemerintah mengotopsi makam petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia agar diketahui apa penyebab kematiannya.
Hingga Rabu (1/5/2019) malam, menurut KPU, petugas KPPS yang meninggal telah mencapai 380 orang.
"Karena mencurigakan, saya usul agar seluruh kuburan jenasah petugas Pemilu yang meninggal, ada 331 jenasah, MOHON dibongkar kembali, untuk melakukan otopsi. Tujuannya, agar penyebab kematian dapat diketahui secaa medis. Pembongkaran makam ini jelas sangat penting," katanya melalui @AkunTofa, Kamis (2/5/2019).
Kritik pedas pun disampaikan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah terkait kasus ini.
"Aneh kalau kita tidak anggap ini aneh. Gila kalau kita tidak anggap ini gila. Nyawa melayang kok dianggap statistik," katanya melalui @Fahrihamzah.
"Kalau tidak ada penjelasan resmi dari pemerintah dan penyelenggara Pemilu, maka dapat saja muncul spekulasi atas meninggalnya ratusan petugas pemilu sebagai bagian dari massifnya kecurangan ... Ayo penyelenggara Pemilu bicaralah ... #SelamatkanIndonesia," kata mantan politisi PKS itu lagi.
Seperti diberitakan sebelumnya, Sekjen KPUArif Rahman Hakim mengatakan, jumlah petugasKelompok Penyelenggara Pemungutan Suara KPPS yang meninggal dunia kembali bertambah.
Hingga Rabu (1/5/2019) pukul 19:00 WIB, telah 380 petugas KPPS yang meninggal.
"Jumlah KPPS yang wafat sebanyak 380 orang, yang sakit 3.192 orang. Dengan demikian, saat ini ada 3.572 KPPS yang tertimpa musibah. Data tersebut berdasarkan rekapitulasi KPU hingga pukul 19.00 WIB," ujar Arif dalam keterangan tertulisnya.
Sebelumnya, Arif mengatakan kalau pemerintah sudah menyetujui skema besaran santunan untuk para KPPS yang tertimpa musibah. Pemerintah menyepakati santunan untuk KPPS yang meninggal sebesar Rp36 juta.
"Skema santunan bagi penyelenggara pemilu yang tertimpa musibah sudah disetujui pemerintah. Surat dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) baru kami kami terima pagi ini, " ujar Arif, Senin (29/5/2019).
Arif menjelaskan , skema besaran santunan yang disetujui oleh pemerintah adalah; untuk petugas yang meninggal dunia sebesar Rp 36 juta, sedang untuk petugas yang mengalami kecelakaan dan mengakibatkan kecacatan permanen diberikan santunan Rp 30,8 juta.
"Untuk petugas yang mengalami luka berat akan diberikan santunan Rp 16,5 juta. Sementara itu, untuk petugas yang mengalami luka sedang akan mendapat santunan Rp 8,25 juta, " lanjut Arif.
Meninggal akibat kelelahan
Ketua KPU Arif Budiman dalam diskusi bertajuk Silent Killer Pemilu 2019 di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (27/4/2019), mengatakan kalau meninggalnya para petugas KPPS itu meninggal akibat kelelahan akibat durasi kerja yang panjang mengingat Pemilu 2019 menggabungkan Pilpres dan Pileg.
Akibatnya, kata dia, pada hari pemungutan suara 17 April 2019, mereka harus bekerja hingga larut malam, bahkan hingga keesokan harinya ketika penghitungan suara untuk Pilpres, DPR, DPRD Tingkat I dan II serta DPD, belum tuntas hingga larut malam
Meski demikian, seperti dilansir CNNIndonesia.com, Rabu (1/5/2019), Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) Umar Zein mengatakan, tak ada kematian yang diakibatkan oleh kelelahan.
"Dalam terminologi kedokteran, tidak ada kematian disebabkan oleh kelelahan. Seperti yang selama ini banyak media beritakan," katanya.
Mantan direktur RUSD) dr Pirngadi Medan tersebut membandingkan kerja petugas KPPS dengan proyek ambisius era kolonial, yakni Jalan Raya Anyer-Panarukan di masa Gubernur Jenderal HW Daendels pada 1808.
Semasa pengerjaan proyek tersebut, kata dia, pribumi dipaksa bekerja membuat parit, memecah batu gunung dan mengangkat bahan-bahan yang diperlukan.
"Mereka bekerja siang malam tak tentu waktu istirahat dan makan. Namanya juga kerja dipaksa," kata dia.
Mereka, tegas Umar, pasti kelelahan dan kekurangan gizi, kehausan, kelaparan, sehingga daya tahan tubuhnya melemah, dan akhirnya jatuh sakit.
"Banyak yang terkena malaria tropika, kejang-kejang, koma, kemudian meninggal," ujarnya.
Dalam konteks kepemiluan saat ini, lanjut dia, situasinya berbeda. Petugas KPPS yang bekerja di TPS punya kesempatan untuk beristirahat dan mengatur ritme kerjanya.
"Mereka cukup mendapatkan minuman dan makanan, bukan kerja paksa, ada waktu istirahat meski bergantian, boleh permisi bila kondisi darurat," lanjutnya.
Menurutnya, ada tiga pintu kematian, yaitu otak, jantung dan paru. Bila otak tidak cukup mendapat oksigen oleh berbagai sebab, misalnya penyumbatan pembuluh darah, maka terjadi kematian sel-sel otak.
"Tetapi pasien tidak langsung mati. Ada mekanisme kompensasi untuk mempertahankan kehidupan sel-sel yang lain," ujarnya.
Bahkan kematian batang otak yang disebut kematian secara medis, kata dia, butuh waktu beberapa jam untuk kemudian terjadi kematian biologis setelah jantung dan paru berhenti berfungsi.
Umar memastikan kelelahan petugas pemilu tidak sampai 1/1000 dari kelelahan para pekerja Anyer-Panarukan.
"Kelelahan mungkin bisa sebagai pemicu gangguan akut atau eksaserbasi dari penyakit kronik yang diidap. Namun sekali lagi, ini butuh pembuktian melalui pemeriksaan medis yang cermat," ujarnya.
Umar pun menyimpulkam bahwa, kejujuran pihak rumah sakit tentang penyebab kematian petugas KPPS menjadi penting untuk menerbitkan rekomendasi dari kalangan akademisi kesehatan agar petaka kepemiluan tidak terulang kepada para petugas.
"Rekomendasi baru akan muncul jika ada investigasi soal itu," tegas dia.
Menyikapi banyaknya petugas KPPS yang meninggal, masyarakat juga punya pendapat sendiri. Contohnya cuitan akun @m_mirah ini.
"Pemilu paling BERDARAH sepanjang sejarah Indonesia berdiri. Firasat saya sangat tidak nyaman begitu mendengar dan mengetahui informasi bahwa sudah ada lebih dari 300 orang petugas Pemilu 2019 yang meninggal. WAJIB diusut tuntas ada apa dan siapa di balik semua ini," katanya. (rhm)