Kritik Dewan Francine dan LSM Bagus: Penyesuaian Tarif Air untuk Mencapai Cakupan Pelayanan 100 Persen Air Bersih Adalah Langkah yang Penting

Kali ini, saya akan membahas penyesuaian tarif air minum PAM Jaya yang menuai kritik dari sejumlah pihak, termasuk dari anggota DPRD dan kalangan masyarakat sipil.
Oleh: Sugiyanto (SGY) – Emik
Aktivis Senior Jakarta
Minggu ini, saya seharusnya menyelesaikan artikel berjudul “Minggu Depan Bahas Tuntas Pembatalan ITF Sunter dan Pembangunan RDF Rorotan Plant.”Namun, karena sejumlah isu mendesak yang menyangkut kepentingan masyarakat dan Pemprov DKI Jakarta, saya memutuskan untuk menunda sementara penyelesaian artikel tersebut.
Beberapa isu krusial yang perlu segera dibahas antara lain penolakan terhadap penyesuaian tarif air minum PAM Jaya, protes warga terhadap normalisasi Sungai Ciliwung, serta dugaan penyalahgunaan jabatan kepala daerah demi kepentingan popularitas maupun keuntungan pribadi. Isu-isu ini perlu dikaji secara obyektif dan mendalam demi menyajikan informasi yang berimbang kepada publik.
Kali ini, saya akan membahas penyesuaian tarif air minum PAM Jaya yang menuai kritik dari sejumlah pihak, termasuk dari anggota DPRD dan kalangan masyarakat sipil.
Francine Widjojo, Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PSI, mempertanyakan kebijakan kenaikan tarif air PAM Jaya yang diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 37 Tahun 2024. Menurutnya, aturan tersebut bermasalah baik dari sisi formil maupun materiil karena dianggap tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Di sisi lain, Ketua Forum Kekeluargaan Relawan Pemuda Nusantara (FK REPNUS), Faisal Nasution, juga menilai kebijakan ini tidak mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat.
Menanggapi kritik tersebut, saya memandang bahwa masukan dari publik merupakan bagian penting dari mekanisme kontrol sosial yang sehat. PAM Jaya dan Pemprov DKI Jakarta memang seharusnya terbuka terhadap kritik sebagai bagian dari upaya perbaikan kualitas pelayanan.
Saya pun pernah menyampaikan kritik terhadap PAM Jaya. Pada suatu kesempatan, saya bertemu langsung dengan Direktur Utama PAM Jaya, Arief Nasrudin, dalam sebuah diskusi publik yang diselenggarakan oleh Koalisi Pemberdayaan Masyarakat Indonesia (KPMI) dalam rangka peringatan Hari Air Sedunia.
Dalam forum tersebut, saya mendapat pemahaman lebih mendalam mengenai latar belakang kebijakan penyesuaian tarif. Dirut PAM Jaya menjelaskan bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari strategi besar untuk membangun dan memperluas infrastruktur jaringan perpipaan, guna mencapai cakupan layanan air minum perpipaan sebesar 100 persen pada tahun 2030. Target ini sejalan dengan komitmen global dalam pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya pada tujuan tentang akses air bersih dan sanitasi.
Berdasarkan analisis saya, penyesuaian tarif ini memang penting dan strategis. Jakarta sedang menghadapi krisis air bersih yang disebabkan oleh penggunaan air tanah secara berlebihan. Hal ini berdampak pada penurunan muka tanah, intrusi air laut, serta berbagai kerusakan lingkungan.
Untuk mengatasi hal tersebut, Pemprov DKI telah mengambil sejumlah langkah, seperti pemanfaatan air permukaan, konservasi air, teknologi desalinasi, dan penerbitan regulasi, termasuk Pergub No. 93 Tahun 2021 tentang Zona Bebas Air Tanah.
Selain itu, Pemprov DKI menerbitkan Pergub No. 7 Tahun 2022 yang menugaskan PAM Jaya memperluas layanan air minum melalui proyek SPAM (Sistem Penyediaan Air Minum), yang dilaksanakan di sejumlah wilayah strategis seperti Jatiluhur-Hilir dan Karian-Serpong.
Namun, realisasi proyek ini menghadapi tantangan besar terkait pendanaan dan infrastruktur, terlebih sejak PAM Jaya tidak lagi menerima Penyertaan Modal Daerah (PMD) dari Pemprov.
Untuk memperkuat pembiayaan proyek-proyek tersebut, Pemprov DKI menetapkan Keputusan Gubernur No. 730 Tahun 2024 yang mengatur penyesuaian tarif air mulai Januari 2025. Perlu dicatat bahwa sejak tahun 2007, tarif air di Jakarta tidak pernah mengalami penyesuaian, meskipun biaya operasional terus meningkat akibat inflasi, fluktuasi nilai tukar rupiah, kenaikan harga BBM, serta biaya produksi air curah SPAM Regional.
Penyesuaian tarif ini tetap menjaga prinsip keadilan sosial. Rumah tangga berpenghasilan rendah (RTM 1 dan RTM 2) tidak dikenakan kenaikan tarif dan tetap menerima subsidi. Tarif progresif hanya diberlakukan pada pelanggan rumah tangga menengah dan atas, serta sektor komersial dan industri.
Dengan demikian, skema subsidi silang dapat berjalan, di mana kelompok mampu ikut berkontribusi terhadap layanan air bersih untuk kelompok rentan dan warga di wilayah yang belum terlayani jaringan perpipaan.
Kebijakan ini juga bertujuan untuk mendorong kemandirian keuangan PAM Jaya, sehingga tidak terus bergantung pada APBD. Dengan penguatan arus kas dari pelanggan eksisting, PAM Jaya dapat membangun dan memperluas jaringan ke wilayah seperti Jakarta Utara dan sebagian Jakarta Barat, sekaligus mengurangi penggunaan air tanah yang selama ini menyebabkan penurunan tanah dan banjir rob.
Di sisi lain, penyesuaian tarif ini juga diharapkan dapat mengurangi ketimpangan sosial dalam akses air bersih. Saat ini, warga di kawasan elite menikmati air bersih dengan tarif yang sangat murah, bahkan lebih murah dari air galon isi ulang, sedangkan warga di kawasan padat harus membayar mahal untuk air bersih. Kebijakan tarif baru ini bertujuan untuk menciptakan keadilan sosial dalam distribusi dan harga air.
Sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), PAM Jaya tidak berorientasi pada keuntungan seperti halnya perusahaan swasta. Semua pendapatan yang diterima digunakan kembali untuk operasional dan pembangunan infrastruktur air bersih. Keuntungan bukanlah tujuan, melainkan keberlanjutan layanan.
Karena itu, penting bagi DPRD DKI Jakarta untuk tidak hanya melontarkan kritik, tetapi juga mendorong edukasi publik yang masif agar masyarakat memahami esensi kebijakan ini. Bahwa tarif yang mereka bayarkan merupakan bentuk investasi untuk pelayanan air yang lebih baik, lebih merata, dan berkelanjutan.
Penyesuaian tarif air minum oleh PAM Jaya adalah langkah penting menuju masa depan Jakarta yang lebih sehat, adil, dan lestari.
Perubahan besar memang kerap tidak populer, namun jika demi kebaikan bersama, perubahan tersebut tetap harus dijalankan dengan keberanian dan komitmen yang tinggi.
Jakarta, 15 April 2025
The End.