Dilema Kasus Kopi Sianida: Antara Persepsi Publik dan Kepastiam Hukum
Saat ini, kasus "Kopi Sianida" telah menjadi sebuah dilema yang kompleks. Meskipun ada persepsi baru di masyarakat bahwa Jessika Kumala Wongso tidak bersalah, tetapi hakim telah memutuskan bahwa ia bersalah, bahkan hingga pada tingkat peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA).
Oleh : Sugiyanto
Aktivis Senior Jakarta
Kasus "Kopi Sianida" tahun 2016 masih terngiang di ingatan banyak orang. Kejadian ini mendapat sorotan luas dari masyarakat di seluruh nusantara. Dalam kasus ini, Jessika Kumala Wongso didakwa sebagai pelaku kematian sahabatnya, Wayan Mirna Solihin, dengan menduga menambahkan racun sianida ke dalam gelas kopi Vietnam di Cafe Olivier.
Ayah kandung Wayan Mirna Solihin, Edi Darmawan, memutuskan untuk mengejar masalah ini secara hukum. Singkatnya, Jessika Kumala Wongso kemudian mendatangi pengacara terkenal, Otto Hasibuan, yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Otto bersedia membantu Jessika, dengan syarat bahwa jika dalam proses hukum terbukti bahwa Jessika adalah pelaku pembunuhan, Otto akan melepaskan kasus ini.
Kenyataannya, Otto Hasibuan terus mendukung Jessika sepenuh hati. Meskipun kalah dalam persidangan, Otto Hasibuan tetap yakin bahwa Jessika tidak bersalah. Oleh karena itu, ia terus memberikan dukungan hukum dalam proses banding, kasasi, dan peninjauan kembali (PK) pada Mahkamah Agung (MA). Penting dicatat bahwa dalam membela Jessika Otto Hasibuan tidak meneriba bayaran dalam bentuk apapun.
Dalam membela Jessika, Otto Hasibuan patut diakui sebagai seorang pengacara luar biasa. Kejeniusan dan kecerdasannya tercermin saat dia berhasil mengatasi tekanan publik dalam kasus "Kopi Sianida" tahun 2016. Pada saat itu, opini publik cenderung memandang Jessica Kumala Wongso sebagai pelaku pembunuhan Wayan Mirna Salihin dengan menggunakan racun sianida.
Dengan keahlian dan keterampilannya, Otto Hasibuan berhasil mempengaruhi pandangan publik dan akhirnya memenangkan simpati masyarakat. Keunggulan luar biasa yang dimiliki oleh pengacara terkemuka, Otto Hasibuan, tidak terbuang percuma. Selama proses persidangan, Otto Hasibuan sering mengajukan pertanyaan dan menjelaskan berbagai hal dengan logis dan rasional, bahkan mengungkap kelemahan dalam argumen jaksa penuntut, termasuk masalah seputar otopsi dan penyebab kematian akibat racun sianida.
Dari sini, dapat disimpulkan bahwa kasus "Kopi Sianida" seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi para penegak hukum. Ini menekankan betapa pentingnya menjalankan proses penyelidikan, penyidikan, pembuktian tuntutan, dan pengambilan keputusan dalam suatu perkara hukum dengan hati-hati, tanpa adanya celah kelemahan sekecil apapun.
Hal ini menjadi sangat penting karena melalui film dokumenter Netflix berjudul "Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso," persepsi publik terhadap kasus "Kopi Sianida" tahun 2016 telah mengalami perubahan. Saat ini, mungkin saja publik mulai mempertimbangkan bahwa Jessica Kumala Wongso bukanlah pelaku pembunuhan Wayan Mirna Solihin dengan menggunakan racun sianida.
Perubahan ini muncul karena masyarakat melihat adanya celah atau kelemahan yang patut diperdebatkan, sehingga muncul persepsi baru bahwa Jessika Kumala Wongso bukan pelaku pembunuhan Wayan Mirna Solihin.
Namun, "nasi telah menjadi bubur," sudah terlambat untuk mengubah apa pun. Dalam proses pengadilan kasus "Kopi Sianida," hakim telah memutuskan bahwa Jessika Kumala Wongso bersalah dan dihukum penjara selama 20 tahun. Bahkan upaya hukum seperti banding, kasasi, dan peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA) juga ditolak. Ini berarti bahwa tidak ada lagi jalan bagi Jessika untuk mencari keadilan, karena PK tidak dapat diajukan dua kali atau masih menjadi kontroversi.
Namun, melalui proses hukum istimewa, yaitu "Grasi" atau pengampunan dari Presiden, Jessika Kumala Wongso, menurut penjelasan pengacara Otto Hasibuan, menolak karena ia tidak bersedia mengakui dirinya sebagai pelaku pembunuhan Wayan Mirna Solihin. Inilah titik simpangannya. Artinya, meskipun ada desakan dari masyarakat untuk membuka kembali kasus "Kopi Sianida," namun jalannya menjadi buntu karena Jessika tidak menerima tawaran grasi dengan syarat mengakui perbuatannya.
Dalam persoalan ini, tidaklah pantas untuk menyalahkan keputusan hakim yang telah menjatuhkan vonis bersalah kepada Jessika. Sebagaimana dijelaskan oleh Immanuel Christophel Liwe dalam Jurnal Lex Crimen (2014), hakim adalah pihak yang bertugas menjalankan kekuasaan negara secara independen, dan bebas dari intervensi dalam bentuk apapun untuk menjalankan peradilan dengan tujuan menegakkan hukum dan keadilan.
Hakim adalah individu yang bertindak sebagai pengadil dalam proses peradilan, dan pengadilan atau mahkamah merupakan wadah resmi di mana kekuasaan publik digunakan oleh otoritas hukum untuk menyelesaikan perselisihan dan mencari keadilan. Dalam sistem hukum, hakim adalah figur yang memiliki peran kunci dalam menjalankan proses peradilan dengan itikad baik dan objektif.
Saat ini, kasus "Kopi Sianida" telah menjadi sebuah dilema yang kompleks. Meskipun ada persepsi baru di masyarakat bahwa Jessika Kumala Wongso tidak bersalah, tetapi hakim telah memutuskan bahwa ia bersalah, bahkan hingga pada tingkat peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA). Sebagai akibatnya, boleh jadi pemerintah dihadapkan pada situasi sulit di mana mereka harus mempertimbangkan persepsi publik bahwa Jessika tidak bersalah dan juga masalah kepastian hukum.
Dalam konteks ini, pemerintah sebaiknya harus segera bertindak. Menteri Koordinator Bidang Hukum dan Keamanan Republik Indonesia (Menkopolhukam RI) Mahfud MD, memiliki potensi untuk menciptakan inovasi hukum yang diperlukan. Sebagai contoh, dapat membentuk Tim Independen Penyelidik untuk mengkaji ulang kasus "Kopi Sianida." Lanhkah ini penting untuk menegaskan tentang kepastiam hukum bagi para pencari keadilan (yustisiable).
Namun, penting untuk dicatat bahwa tim penyelidik ini harus menjalankan tugasnya tanpa mengkritik keputusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap, hingga ada keputusan baru. Keputusan baru ini harus memiliki bobot hukum yang setara atau lebih tinggi dari keputusan peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung (MA).
The End