Berdebatlah dengan Santun dan Logika: Tidak Menjawab Pertayaan Orang Bodoh Itu Adalah Jawabannya

Foto-IST-Sugiyanto (SGY)-Emik

SESEORANG yang berdebat hendaknya mampu menahan diri, menghormati pendapat lawan bicara, dan menerima kekalahan dengan lapang dada ketika argumennya terbukti keliru

Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Maayarakat Nusantara (HASRAT)

Akhir-akhir ini, kita sering menyaksikan berbagai perdebatan di televisi, media daring, maupun media sosial. Sayangnya, banyak di antaranya terjebak dalam debat kusir yang tidak berujung. Masing-masing pihak berusaha memaksakan pendapatnya tanpa membuka ruang bagi kebenaran atau argumentasi pihak lain. Lebih parah lagi, ketika data dan fakta yang jelas serta sahih telah disampaikan, masih ada yang tetap bersikeras menolak dengan alasan yang tidak logis dan tidak berdasar.

Dalam konteks etika berkomunikasi publik dan kebebasan berpendapat yang dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, setiap orang berhak untuk mengemukakan pendapat. Namun, hak tersebut tidak bersifat absolut, melainkan harus dijalankan dengan tanggung jawab sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta norma kesusilaan dan ketertiban umum. Artinya, perdebatan yang sehat harus dilakukan secara santun, rasional, dan didasari niat untuk mencari kebenaran, bukan untuk menjatuhkan atau mempermalukan pihak lain.

Seseorang yang berdebat hendaknya mampu menahan diri, menghormati pendapat lawan bicara, dan menerima kekalahan dengan lapang dada ketika argumennya terbukti keliru. Mengakui kesalahan bukanlah kelemahan, melainkan bagian dari kedewasaan intelektual dan kejujuran ilmiah. Sebaliknya, bersikeras mempertahankan pandangan yang salah hanya menunjukkan kebebalan dan ketidaksiapan untuk belajar. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sikap terbuka terhadap kebenaran merupakan pondasi penting bagi kemajuan peradaban.

Ketika kita berhadapan dengan orang yang tidak mau mendengar penjelasan atau menolak fakta dengan keras kepala, sikap terbaik adalah menghindari perdebatan yang sia-sia. Diam dalam situasi demikian bukan tanda kekalahan, melainkan bentuk kebijaksanaan dan penghormatan terhadap diri sendiri. Dalam hukum Islam maupun etika universal, menjaga kehormatan dan menghindari pertengkaran yang tidak bermanfaat merupakan bentuk akhlak mulia.

Sebagaimana pesan bijak dari para tokoh terdahulu:
“Jangan nasihati orang bodoh, karena dia akan membencimu. Tetapi nasihatilah orang berakal, niscaya dia akan mencintaimu,” ujar Ali bin Abi Thalib.
“Berkatalah sekehendakmu untuk menghina kehormatanku; diamku dari orang hina adalah jawaban. Bukan berarti aku tak punya jawaban, tetapi tidak pantas bagi singa meladeni anjing.”

Pesan bijak lainnya antara lain:
“Sikap diam terhadap orang bodoh adalah suatu kemuliaan. Begitu pula diam untuk menjaga kehormatan adalah suatu kebaikan.”
“Tidak menjawab pertanyaan orang bodoh itu adalah jawabannya.”
“Tidaklah aku berdebat kecuali berharap agar lawan debatku diberi taufik dan pertolongan, serta dijaga oleh-Nya. Dan tidak pula aku berdebat kecuali aku tidak peduli apakah Allah menampakkan kebenaran melalui lisanku atau melalui lisannya.”

Sejatinya, masih banyak lagi pesan bijak dan ungkapan relevan lainnya. Namun, uraian di atas sudah cukup mewakili nilai-nilai kebijaksanaan yang patut menjadi perhatian dan pedoman bagi kita semua.

Dari berbagai nasihat tersebut, kita belajar bahwa debat yang baik adalah sarana mencari kebenaran dan memperkaya ilmu, bukan ajang adu ego. Maka, marilah kita membiasakan diri untuk berdebat dengan santun, berlandaskan logika, data, dan niat baik demi kebaikan bersama.